Polusi Udara, DKI Rugi Rp40 T

Yanurisa Ananta
06/4/2017 07:01
Polusi Udara, DKI Rugi Rp40 T
(Pencemaran udara perkotaan diakibatkan paparan knalpot kendaraan bermotor. -- ANTARA FOTO/Aldino Anatusa)

WARGA DKI Jakarta merugi Rp40 triliun setiap tahunnya terkait dengan gangguan kesehatan akibat polusi udara. Sebanyak 19 titik di kawasan Ibu Kota terdeteksi mengandung polutan paling berbahaya dengan jumlah melebihi ambang batas.

Berdasarkan data Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), 58% dari total warga Jakarta, yakni sebanyak 9,6 juta orang, mengalami permasalahan pernapasan akut. Angka tersebut didapat dari hasil survei rumah sakit di seluruh Jakarta pada 2010.

“Kerugian tersebut kami hitung per tahun berdasarkan data dari rumah sakit di seluruh Jakarta. Sebanyak Rp40 triliun ialah kerugian pada 2010, sementara hingga 2017 bisa mencapai Rp50 triliun,” kata Achmad Safrudin, Ketua KPBB, kepada Media Indonesia, kemarin.

Angka tersebut diduga telah berlipat ganda seiring dengan berjalannya waktu.

Dia mengatakan sebesar 47% polusi udara Jakarta disebabkan kendaraan bermotor. Sektor industri menyumbang 22% polusi udara.

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto mengamini bahwa penyakit kanker menjadi tren saat ini. Sepuluh tahun yang lalu, kata dia, penyakit yang diduga disebabkan terserapnya zat berbahaya ke dalam tubuh itu belum menjadi penyakit terbanyak di Jakarta. “Sekarang sudah ada di urutan empat. Naiknya cepat sekali,” imbuhnya.

Ancaman serius
Menurut Greenpeace Indonesia, kandungan salah satu polutan paling berbahaya, yakni particulate matter (PM) 2,5, dalam udara Jakarta sudah jauh melebihi ambang batas di wilayah. Indeks tersebut dicatat berdasarkan alat pemantau yang diletakkan di 19 titik di Ibu Kota.

“Kami pakai alat yang sudah sesuai standar US EPA (Badan Perlindungan lingkungan Hidup Amerika Serikat), jadi ini sangat diakui secara internasional,” ucap juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia Bondan Adrinyanu saat ditemui Media Indonesia, Selasa (4/4).

Berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kandungan tersebut sangat berbahaya bagi sel tubuh manusia, terutama pernapasan.

“Saat ini kami berfokus pada PM 2,5 dulu karena di internasional pun ini dibilang sebagai silent killer,” imbuh Bondan.

Selain PM 2,5, menurut KPBB, masih ada zat berbahaya lain seperti PM 10, nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), dan sulfur dioksida (SO2) yang memperparah polusi di Jakarta.

Bahaya yang ditimbulkan zat tersebut bervariasi. PM 10 yang merupakan debu berukuran 10 mikron dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, bronkitis, dan pneumonia (lemas). Namun, debu jenis ini masih bisa disaring bulu hidung dan masker.

“Beda dengan PM 2,5 yang lebih berbahaya karena tidak mempan disaring bulu hidung bahkan lendir dalam tubuh, saking kecilnya. langsung masuk ke paru-paru tepat di titik penyerapan oksigen oleh darah,” ujar Achmad.

Kandungan berbahaya diprediksi akan berlipat ganda pada 2030. Hal itu tak terlepas dari jumlah sektor industri dan transportasi yang terus berkembang. “Akan naik 3-4 kali lipat dari tren pencemaran udara 2001-2010,” ujarnya.

Mengingat polusi udara di Jakarta hampir 50% disebabkan emisi kendaraan, kontrol terhadap bahan bakar sangat dibutuhkan. Sayangnya, masalah polusi udara belum disikapi serius oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta. Hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) yang diselenggarakan setiap Minggu mulai pukul 06.00 hingga pukul 11.00 WIB menjadi formalitas belaka.

Pun program uji emisi yang diwajibkan bagi pengguna kendaraan bermotor. (Ric/J-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya