Surat untuk Alia, Bukti Intoleransi mulai Menyerang Anak-Anak

Yanurisa Ananta
30/3/2017 21:53
Surat untuk Alia, Bukti Intoleransi mulai Menyerang Anak-Anak
(Ist)

KIKA Syafii, 39, warga Pekayon, Bekasi Selatan, kaget ketika menemukan secarik kertas yang ditujukan kepada anaknya, Alia, 10.

Surat yang terbaring di depan pagar rumahnya pekan lalu itu berisi umpatan dan ejekan terhadap anaknya. Si pengirim surat menuliskan bahwa Alia ialah pemeluk agama Islam yang tidak taat, kafir, dan munafik lantaran memilih calon Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Alia sendiri belum genap berusia 17 tahun. Belum memiliki hak untuk memilih pasangan calon Gubernur DKI. Namun, ternyata keributan Pilkada DKI juga menjadi perbincangan anak-anak sekolah. Kika, ayah dari Alia, mengaku sedih saat mendapati surat tersebut.

"Kami sering mendiskusikan Ahok hanya karena hasil kerjanya yang benar-benar kami rasakan. Seperti contoh kecil, membuat KTP atau surat domisili, hanya 5 menit dan tanpa pungli sama sekali. Saya tekankan pada anak-anak untuk memahami dan mengerti hasil kerja orang. Suka atau tidak suka terhadap orang tersebut, kita harus belajar jujur untuk menilai hasil kerjanya," jelas Kika dalam blog pribadinya yang ditulis pada Kamis (23/3) lalu.

Kepada Media Indonesia, Kika mengaku saat ini berdomisili di Pekayon, Bekasi Selatan. Meski tinggal di Bekasi, Kika dan istri memiliki KTP Jakarta sehingga sebelumnya memang Kika ikut dalam Pilkada DKI 2017 putaran pertama.

Meski demikian, ia merasa tidak banyak membahas soal politik di rumah bersama istri, apalagi anak. Alia, kata Kika, hanya sesekali bertanya apa itu Pilkada dan siapa itu Ahok.

Alia, lanjut Kika, sempat membalas surat tersebut. 'Shifa, aku tidak seperti yang kamu pikirkan' tulis Alia kepada si pengirim surat yang diketahui sebagai teman sepermainan Alia di luar sekolah. Namun, niat baik Alia dibalas cercaan juga dalam bentuk surat.

"Saya pun tidak pernah mendorong Alia untuk memilih ini itu," tukas Kika.

Menanggapi hal ini, Kika selaku orangtua mengatakan tidak akan melapor kepada Satgas Perlindungan anak atau pun Komisi Perlindungan Anak-Anak. Ia mengatakan kondisi anaknya saat ini masih baik-baik saja.

"Bagi saya permasalahan ini harus fokus ke orangtuanya karena anak seperti sebuah kanvas kosong. Tapi, saya tidak punya kompetensi untuk mengingatkan apalagi menegur orangtua pelaku. jadi saya memilih menguatkan anak saya saja," imbuh Kika.

Koordinator Satgas Perlindungan Anak Ilma Sovri Yanti Ilyas mengatakan, orangtua yang melibatkan anak-anak dalam politik telah melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak.

Dalam hal penerimaan pesan, anak-anak tentu berbeda dari orang dewasa. Anak-anak masih memiliki keterbatasan dalam pengalaman berinteraksi sosial. Menimbang sesuatu belum matang dan masih mencari sosok fgur sebagai tauladan.

"Anak-anak tidak tahu bahwa Pilkada hanya sesaat. Intoleransi yang disebabkan pemberian pemahaman yang direspon dengan tidak sempurna menyebabkan agresivitas anak meningkat," kata Ilma Sovri.

Ilma menambahkan, anak masih sulit membedakan imajinasi dan fakta sosial, termasuk materi kampanye. Dikhawatirkan anak akan melihat atau menganggap sebuah ketidakbenaran menjadi kebenaran jika dihadapkan dengan kompetisi politik tanpa penyaringan, penjelasan dan pendampingan.

"Pelibatan anak dalam politik telah melahirkan anak-anak yang memiliki stereotyping dan sikap agresif terhadap orang-orang yang berbeda (pilihan politik) dengannya," lanjut Ilma.

Hal ini termaktub dalam UU 23/2002 Pasal 15 huruf (a) yang menegaskan setiap anak berhak atas perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik. Barang siapa melanggar dapat dikenakan ancaman pidana. UU 35/2014 tentang Perubahan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 87 menjelaskan ketentuan pidana bagi pelanggar hak anak, yakni penjara paling lama 5 tahun dan atau denda maksimal Rp100 juta. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya