Dampak Operasi Lantas tidak Signifikan

Nicky Aulia Widadio
23/3/2017 09:22
Dampak Operasi Lantas tidak Signifikan
(ANTARA/TERESIA MAY)

JUMLAH pelanggaran lalu lintas di Ibu Kota dan sekitarnya semakin tinggi. Tak tanggung-tanggung, pelanggaran yang tercatat dalam Operasi Simpatik Jaya tahun ini mencapai 59.839 kasus.

Berbagai gelaran operasi khusus yang diterapkan Korps Lalu Lintas Polri selama ini dinilai tidak efektif menciptakan efek jera terhadap pengendara.

Dalam Operasi Simpatik Jaya yang digelar Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) selama 21 hari pada tahun ini, sebanyak 59.839 pelanggar aturan lalu lintas diberi teguran oleh petugas. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, dalam rentang waktu yang sama, jumlah pelanggaran tahun ini jauh meningkat.

Dalam Operasi Simpatik Jaya tahun lalu, total pelanggaran 37.613 kasus, terdiri atas 29.977 kasus yang ditindak tilang dan 7.636 lainnya diberi teguran.

"Kalau kita lihat (operasi) ini hanya untuk menjalankan program-program yang diajukan dalam anggaran setiap tahunnya, padahal kan (anggaran) bisa dilakukan untuk upaya lain," kata Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch Edison Siahaan.

Edison menilai Korlantas Polri perlu mengevaluasi pelaksanaan operasi khusus lalu lintas yang mereka gelar. Penyebabnya, operasi-operasi tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap ketertiban lalu lintas masyarakat.

"Pelanggaran itu kan bentuk ketidakpatuhan masyarakat, tapi anehnya ada kesan, polisi menindak pelanggaran yang lebih besar itu seakan menunjukkan keberhasilan. Sebetulnya baru dibilang sukses kalau jumlah pelanggar rendah," ujar Edison kepada Media Indonesia, kemarin (Rabu, 22/3).

Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto mengatakan, dalam operasi simpatik tahun ini, polisi tidak menerapkan sistem tilang. Jumlah teguran tersebut menunjukkan pelanggaran yang dilakukan para pengendara.

"Kami mengedepankan cara-cara persuasif dan edukatif dalam mengatasi pelanggaran. Yang jelas data itu kami evaluasi dalam rangka menentukan cara bertindak lebih lanjut," ujar Budiyanto kepada Media Indonesia, kemarin.

Tingginya angka pelanggaran lalu lintas di DKI Jakarta melahirkan tanda tanya besar karena Korps Lalu Lintas Polri telah menerapkan berbagai operasi rutin dalam satu tahun, seperti Operasi Simpatik Jaya, Operasi Patuh Jaya, serta Operasi Zebra.

Pada Operasi Patuh Jaya pada Mei 2016 lalu, tercatat jumlah pelanggaran mencapai 107.870 tilang. Kemudian dalam Operasi Zebra pada November 2016, jumlah pelanggaran berjumlah 102.332 tilang dan 13.052 teguran.

Belum lagi dua operasi lain yang dilaksanakan setiap menjelang Idul Fitri serta Natal dan tahun baru, yakni Operasi Ramadania dan Operasi Lilin.

Artinya, dalam rentang waktu dua bulan hingga tiga bulan sekali, pihak kepolisian rutin menggelar operasi lalu lintas. Lantas mengapa hal tersebut tidak serta-merta meningkatkan kesadaran tertib berlalu lintas masyarakat?

Budiyanto mengatakan polisi telah merancang konsep operasi agar efektif. "Operasi terdiri atas dua jenis, yakni yang bersifat persuasif dan edukatif, seperti Operasi Simpatik, kemudian yang bersifat penindakan guna menimbulkan efek jera bagi masyarakat yang melanggar," tuturnya.

Penyebab pelanggaran
Permasalahan pelanggaran lalu lintas di Ibu Kota dinilai sebagai sebuah masalah yang kompleks karena terdiri atas banyak faktor. Menurut Edison, tingginya angka pelanggaran sebanding dengan tingkat kemacetan di suatu wilayah.

Dalam kondisi terdesak dalam kemacetan, secara psikologis pengendara akan mencari ruang-ruang jalan yang kosong meski harus melanggar aturan. "Macet itu bikin stres akibat dorongan stres itu jadi sudah enggak rasional. Trotoar pun dinaikin," imbuhnya.

Lebih jauh lagi, ia menilai kompetensi pengendara masih belum terukur baik karena masih ada penyimpangan dalam proses pembuatan lisensi mengemudi (SIM).

"Padahal SIM merupakan legitimasi dari negara kepada warga bahwa si pemilik SIM dianggap memiliki kompetensi untuk menggunakan kendaraan bermotor di jalan raya serta memahami keselamatan atas dirinya sendiri dan orang lain,"

Selain faktor pengendara, menurut Edison, minimnya aparat lalu lintas di kawasan rawan pelanggaran menjadi penyebab masalah ini. Penyebabnya, rasio jumlah aparat jauh lebih sedikit ketimbang masyarakat. "Namun, semestinya pihak kepolisian harus tetap mampu mengatur operasional pada titik-titik yang paling rawan," lanjut Edison.

Dalam menanggapi itu, pihak kepolisian menilai rendahnya tingkat kedisiplinan masyarakat dalam berlalu lintas menjadi faktor utama tingginya angka pelanggaran. "Memang membangun kedisiplinan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu waktu dan proses," tukas Budiyanto.(J-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya