Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
BUKAN rahasia lagi menjamurnya kendaraan pribadi menjadi kontributor terbesar penyebab kemacetan di Ibu Kota Jakarta.
Peningkatannya sekitar 6.000 kendaraan per hari untuk pelat B.
Jumlah kendaraan pribadi yang berasal dari Kota Jakarta sudah membikin macet jalanan, ditambah lagi kendaraan pribadi dari daerah penyangga seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang.
Bekasi memiliki dua wilayah, yaitu kabupaten dan kota, sedangkan Tangerang punya tiga wilayah mulai Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, hingga Tangerang Selatan.
Belum lagi kendaraan yang datang dari Kota dan Kabupaten Bogor.
Kendaraan-kendaraan pribadi umumnya hanya digunakan masyarakat kalangan ekonomi menengah ke atas yang oleh pengemudi angkot disebut 'kaum tajir'.
Mobil berkapasitas lima hingga delapan penumpang dibawa beraktivitas meski hanya berisi sang pengendara.
Masyarakat kelas menengah ke atas itu sebagian besar tinggal di perumahan-perumahan cluster yang hingga saat ini masih gencar dibangun di daerah pinggiran Jakarta.
Masalah kemacetan semakin kompleks karena berkaitan dengan biaya sewa rumah dan biaya hidup yang mahal di Jakarta.
Untuk sampai ke tempat kerja yang berlokasi di jantung Ibu Kota, sebagian besar dari mereka memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Hasilnya, setiap pagi macet tak terelakkan.
Begitu juga sore hingga malam hari, banyak waktu terbuang di jalan, banyak bensin terbuang di jalan, belum lagi macet mendorong pengemudi menjadi emosional dan stres.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna berpendapat harus ada daya dorong untuk memaksa 'si Tajir' beralih ke transportasi umum guna mengurangi kepadatan Jakarta.
Upaya pengalihan ke transportasi umum itu harus terintegrasi dengan tata ruang yang ada.
"Konsep integrasi transportasi Jabodetabek sebenarnya sudah ada dari dulu. Cuma dalam praktiknya antara tata ruang dan perkembangan transportasi belum terintegrasi. Belum sinkron dan belum diikat," tandas Yayat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2014, warga Jabodetabek meninggalkan rumah selama 14-16 jam dalam sehari pada hari kerja, berangkat pukul 05.00 dan pulang pukul 20.00.
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) pada 2016 menyebut kerugian akibat kemacetan mencapai Rp150 triliun per tahun.
"Jelaslah, kemacetan itu pemborosan," jelas Yayat.
Untuk itulah, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyediakan layanan transportasi di 17 perumahan-perumahan mewah di Jabodetabek, di antaranya Sentul Nirwana, Alam Sutera Residence, dan Grand Wisata.
Transportasi itu bernama Jabodetabek Residence Connexion (JRC).
Armada bus berangkat dari selter yang tidak jauh dari permukiman. Bus-bus penumpang tersebut tidak akan berhenti untuk menaikkan penumpang karena hanya berhenti di lokasi tujuan.
Ada wi-fi dan CCTV
Kepala BPTJ Elly Adriani Sinaga mengatakan standar pelayanan angkutan permukiman itu sudah berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No 32 Tahun 2016 dan Peraturan Kepala BPTJ No SK 55/AJ.206/BPTJ-2017 tentang Angkutan Permukiman.
"Bus-bus itu menyediakan wi-fi, kursinya nyaman, bisa diatur sandaran badan dan kepalanya, di setiap tempat duduk disediakan sabuk pengaman," papar Elly.
Selain itu, di dalam tersedia closed circuit television (CCTV) sehingga keamanan penumpang dari kriminalitas terpantau.
Ada pula pengisi baterai ponsel di tiap sisi kursi yang berkonfigurasi 2-2.
Jika memiliki kritik dan saran, penumpang bisa menyampaikan ke nomor telepon yang terpampang pada stiker di jendela.
Selain itu, disediakan lampu interior untuk membaca. Pemberhentian bus di pusat kegiatan, misalnya, FX Senayan, Blok M, dan Sudirman.
Saat ini sudah tersedia 150 bus berasal dari sejumlah perusahaan otobus (PO), di antaranya PO Sinar Jaya Langgeng Utama, PT Wahana Transport, PT Sejahtera Cemerlang, dan PT Wifend Darma Persada.
Menurut Yayat, mekanisme kerja sama harus jelas terlebih dulu antara pelayanan atau bisnis.
Kompetisi dari moda transportasi daring luar biasa mencuri perhatian masyarakat.
"Akan lebih baik jika pemerintah mampu memberi public service obligation (PSO) seperti yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor dengan memberi subsidi Rp9 miliar," cetusnya.
Menjawab Yayat, Elly menjelaskan basis kerja sama JRC bukan pelayanan, melainkan bisnis, sehingga tidak ada subsidi atau PSO yang digelontorkan pemerintah.
Persoalan transportasi masyarakat yang tinggal di hunian mewah pinggir Jakarta tidak terlepas dari tanggung jawab perusahaan pengembang.
Menjadi kerugian perusahaan pengembang jika hunian tidak menyediakan akses transportasi yang layak.
"Pengembang punya tanggung jawab. Jangan cuma bangun perumahan tapi tidak memikirkan bagaimana mereka ke Jakarta, apakah dengan angkutan umum atau pakai mobil sendiri," terang Elly.
Dalam pengoperasian JRC, BPTJ bekerja sama dengan perusahaan pengembang.
Pengembang diminta membangun selter di tiap permukiman.
Yayat sependapat, tetapi seharusnya tanggung jawab pengembang bukan sebatas menyediakan selter, melainkan juga bus.
Jika perlu, lanjut Yayat, pemerintah bisa menunda pemberian izin bangun jika pengembang belum memberi kontribusi dengan penyediaan bus.
"Izin pengembang kalau perlu harus ada syarat penyediaan bus. Kalau enggak ada tahan dulu. Pengembang selalu berpikir urusan transportasi itu urusan warga. Padahal, itu berkaitan dengan kemudahan dalam memberikan kualitas hidup," pungkas Yayat. (J-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved