Pasar Senen Tersulut Kompetisi

Sru/J-4
20/1/2017 06:51
Pasar Senen Tersulut Kompetisi
(ANTARA/Ali Qital)

PASAR Senen, Jakarta Pusat, kembali terbakar, kemarin. Bagian yang terbakar ialah bangunan yang tidak dilengkapi dengan sensor api untuk mendeteksi sekaligus mencegah kebakaran.

Hal itu dikatakan pengelola Pasar Senen dari PT Pembangunan Jakarta Raya (Pembangunan Jaya) Edi Santoso Edi di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, gedung yang dilalap api tersebut dibangun pada 1974. Hingga tadi malam, asap tebal masih mengepul. Diperkirakan, sebanyak 1.630 kios habis terbakar.

Saat pembangunan, kata Edi, belum ada aturan pemerintah yang mewajibkan penggunaan detektor api di gedung-gedung bertingkat.

"Kami memang sudah melengkapinya dengan instrumen standar gedung, tapi tanpa detektor api. Ketika renovasi gedung pada 1989 lalu, yang dilakukan hanya peremajaan minor."

PT Pembangunan Jaya ialah perusahaan yang mendapat proyek meremajakan Pasar Senen.

Sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002, pengelolaan pasar dilakukan dua pihak, yaitu badan usaha milik daerah (BUMD) dan swasta.

Untuk merevitalisasi pasar, permodalan ditanggung pihak swasta. Dalam praktiknya, peremajaan pasar kerap terbentur kesepakatan harga antara pengelola dan para pedagang.

"Kami mengelola dua blok, tapi tidak semua blok dikelola swasta. Dalam praktiknya, kami selalu menghadapi kendala karena kesulitan menentukan harga. Sebesar 60% harus melalui persetujuan para pedagang. Itu membuat revitalisasi berlarut-larut."

Sejauh ini PT Pembangunan Jaya telah merevitalisasi gedung dengan anggaran Rp350 miliar.

Saat ini pengerjaannya sudah mencapai 50%.

Ditargetkan, pada Juni 2017 mendatang, pihak pengelola akan melakukan serah terima kepada pedagang.

"Pelaksanaan pembangunan sejak 2015. Renovasi terakhir kali dilakukan pada 1989."

Di lain hal, pedagang Pasar Senen mengungkapkan keresahan akibat ulah pengelola. Menurut Hendro, 41, pedagang di lantai tiga, dalam waktu setahun, jumlah pedagang di lantai itu terus bertambah.

"Pengelola terus menyewakan kios, padahal daya tampung sudah tidak mencukupi. Akibatnya, harga sewa melonjak, dari Rp600 ribu per bulan sekarang menjadi Rp800 ribu," keluhnya.

Memakai preman

Menurut budayawan dari Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra, pasar yang didirikan pada 1730-an itu memiliki daya tarik yang diperebutkan berbagai pihak, seperti perebutan yang dilakukan antaretnik.

"Tidak hanya antaretnik, tetapi juga antara para preman dan pemilik modal. Kepentingan para pemodal cukup kental karena sudah banyak peminat yang menginginkan kawasan itu."

Pasar Senen didirikan tuan tanah berkebangsaan Eropa Justinus Vinck untuk wadah bertemunya pedagang pribumi, Tiongkok, Arab, dan Eropa.

Pasar itu terbentuk setelah pemerintahan VOC yang berkuasa saat itu memberikan izin.

Mereka memakai jasa preman untuk mengamankan wilayah masing-masing.

Hal itu berlangsung sejak 1800-an dan hingga kini masih bertahan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya