TransJakarta di Mata Media Jerman

Irana Shalindra
18/11/2016 16:18
TransJakarta di Mata Media Jerman
(ANTARA/Fanny Octavianus)

ADA yang menggelitik benak Inggrid Muller, redaktur harian Tagesspiegel dari Berlin, Jerman, ketika ia menaiki bus Transjakarta, awal November ini. Ada sebuah tanda peringatan yang belum pernah ia lihat, yaitu ikon pria yang mengangkat rok perempuan.

“Saya sempat berpikir, gambar apa itu. Ternyata yang dimaksud adalah pelecehan,” ujarnya di sela forum Dialog Media Jerman dan Indonesia bertema Future of cities, di Jakarta, baru-baru ini.

Bersama sejumlah wartawan Jerman lain, perempuan berambut bondol itu diajak Moritz Kleine-Brockhoff dari Yayasan Friedrich- Naumann-Stiftung für die Freiheit naik TransJakarta, berkeliling kawasan Kota Tua.

Jurnalis senior itu heran lantaran tanda larangan tersebut, berikut pemisahan kursi antara penumpang perempuan dan penumpang laki-laki, tidak terdapat di transportasi publik Berlin.

"Well, paling-paling pemisahan hanya pada kelas di kereta," ucap Muller.

"Saya juga dengar ada TransJakarta berwarna pink. Apa itu khusus untuk perempuan? Apakah kalau naik TransJakarta, Anda menunggu bus itu?" tanyanya sangsi kepada sejumlah perempuan pewarta dari Indonesia yang juga mengikuti dialog tersebut.

"Enggak. Hahaha. Kami naik yang lebih dulu muncul kok," jawab seorang jurnalis media daring.

"Nah kan," sahut Muller.

Pintu bus TransJakarta dan halte yang tinggi juga sempat membuatnya terheran-heran. Apalagi, banyak halte yang letaknya di tengah jalan, alih-alih di pinggir seperti halte bus reguler.

"Saya duga itu mungkin karena Anda ingin menghindari kemacetan. Tapi adalah hal bagus bahwa tinggi pintu dan bibir halte selevel sehingga memudahkan penyandang disabilitas," ujar Muller.

Soal tinggi pintu dan posisi halte, Sven Hansen, editor surat kabar Taz yang juga berbasis di Ibu Kota Jerman punya pendapat lebih blak-blakan.

"I think you've overdone it," komentarnya.

Untuk menarik minat lebih banyak pengguna, ia beranggapan, sistem yang lebih sederhana akan lebih baik. Walakin, Hansen tetap menilai positif kehadiran bus rapid transit itu untuk menjawab sebagian persoalan kemacetan Jakarta, terutama untuk menjangkau masyarakat kelas menengah.

"Bukan solusi yang sempurna, tapi sudah di arah yang benar," kata dia.

Pria yang telah 30 tahun berprofesi sebagai jurnalis tersebut mengaku ini kali kedua dia naik TransJakarta. Yang pertama adalah pada 2005, ketika ia meliput proses pengadilan kasus Tempo versus pengusaha Tommy Winata.

"Saya ingat dulu naik TransJakarta ke daerah Jakarta Pusat. Hanya ada satu jalur dan sekarang Anda punya banyak," ucapnya.

Di Jerman, lanjut Hansen, kesadaran akan pemakaian transportasi publik sendiri mulai menguat pada era 1970-an lantaran banyak pihak mulai mencemaskan dampak maraknya kendaraan pribadi terhadap lingkungan.

"Mobil dulu sempat dianggap sebagai simbol kebebasan," kata dia.

Kesadaran bertransportasi publik tidak membuat masyarakat Berlin antimobil. Banyak dari mereka tetap memiliki mobil, tapi 'dikandangkan' pada hari biasa dan baru dipakai pada akhir pekan. Di luar Sabtu dan Minggu, tidak sedikit yang berkendara dengan transportasi publik seperti bus, kereta. Sementara, kendaraan pribadi yang sering digunakan adalah sepeda.

"Sekarang, malah jalur sepedanya yang menjadi sering macet," ucap Hansen. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya