Asa Menggantung di Kitaran Ciliwung

Irana Shalindra
16/11/2016 09:57
Asa Menggantung di Kitaran Ciliwung
(Suasana di Kampung Akuarium, Pasar Ikan Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (12/7), sebagian warga masih bertahan tinggal menggunakan tenda-tenda. -- MI/Panca Syurkani)

SUDAH genap 7 bulan sejak Rohmah kehilangan rumahnya di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara. Namun, sepasang matanya masih beriak saban bercerita tentang nasib yang mendadak berubah sejak April silam.

"Saya masih enggak terima," ujar perempuan berusia 58 tahun itu saat dijumpai di sela kunjungan para jurnalis yang tengah mengikuti Dialog Media Jerman-Indonesia, ke Kampung Akuarium, pekan lalu.

Kampung yang dulu menjadi kediaman sekitar 380 kepala keluarga, termasuk Rohmah, sejak penggusuran pada 11 April lalu telah menjelma menjadi tumpukan puing.

Di atasnya, kini, bermunculan sejumlah bedeng, tempat sebagian warga yang bertahan. Sebagian lagi beralih ke Rusun Marunda atau Rusun Rawa Bebek yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Namun, di antara mereka ada yang memutuskan kembali ke sisa-sisa kampung yang terletak di sisi kiri muara Kali Ciliwung tersebut.

"Saya sempat pindah ke Marunda. Tapi, di sana enggak bisa kerja, enggak bisa cari duit. Gimana mau bayar rusunnya?" lanjut Rohmah.

Hanya tiga bulan tinggal di Rusun Marunda, ibu 4 anak itu kemudian angkat kaki. Ia kembali ke Kampung Akuarium dan tinggal dalam bedeng yang terbuat dari tripleks bersama dua putranya.

Sementara, dua anaknya yang sudah berkeluarga bergeming di rusun. Rohmah pun kembali berjualan nasi uduk, hal yang ia lakoni sebelum terkena penggusuran.

"Di sini juga sepi, tapi masih adalah yang beli. Dapet lebih (untung) Rp20 ribu sehari udah bagus," tuturnya.

Warga lainnya, Dharma Diani, menambahkan, mereka mengupayakan class action dan masih berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sampai sekarang, mereka 'melawan' lantaran merasa tidak mendapat kompensasi yang adil.

"Rusun (Marunda) yang jauhnya 25 kilometer dari sini bukan solusi. Banyak warga yang malah kembali ke sini karena di sana enggak bisa cari nafkah," tegasnya.

Mereka pun ingin mengusulkan solusi berbagi lahan kepada Pemprov DKI Jakarta, berbekal rancangan kampung susun oleh Rujak Center. Dalam rancangan itu, dimungkinkan perkampungan mereka terintegrasi secara apik dalam sentra wisata bahari yang konon direncanakan Pemda.

Diani sampai sekarang tidak paham mengapa warga Kampung Akuarium harus digusur. Apalagi, tanpa sosialisasi yang cukup. Hanya 11 hari sejak pemberitahuan. Sementara, kebanyakan telah menetap di situ puluhan tahun.

"Karena ini tanah negara, kami dibilang penghuni liar, padahal setiap tahun kami bayar PBB. Apa (digusur) karena kami dianggap kumuh? Kumuh tidak berarti harus hilang, kumuh bisa ditata!" Suaranya meninggi di antara deru mesin berat yang sedang menyiapkan sheet pile.

Lamaran

Sementara warga Kampung Akuarium berusaha menemukan keadilan, tidak jauh dari situ, tiga kampung lain tengah berjuang mempertahankan eksistensi mereka.

Jumaing, warga Kampung Tongkol sekaligus anggota Komunitas Anak Kali Ciliwung mengemukakan, sejak tahun lalu, para penghuni bantaran Kali Ciliwung telah berbenah diri. Bukan hanya warga Kampung Tongkol, tapi juga Kampung Krapu dan Kampung Lodan.

Demi menghindari penggusuran, mereka 'memotong' rumah-rumah yang langsung bersisian dengan kali. Kini, ada jarak sekitar 5 meter antara bibir kali dan perumahan warga. Semua dilakukan secara swadaya.

Perilaku resik pun digiatkan. Walhasil, tidak ada lagi sampah menumpuk di pinggiran kali Ciliwung. Sepanjang tepiannya pun makin rindang lantaran adanya kegiatan penghijauan dengan sayuran organik.

"Awalnya kita memang suka buang sampah ke kali. Tapi sekarang sudah berubah. Kita bikin pengelolaan sampah, termasuk untuk dibikin kompos," tuturnya.

"Istilahnya, kita ingin memperlihatkan diri bisa cantik, bisa berubah. Ya kayak saya mau ngelamar aja, dandannya kan sebelum lamaran," timpal Gugun, warga lokal yang juga aktivis Urban Poor Consortium.

Pihak yang ingin mereka 'lamar' tidak lain adalah Pemprov DKI. Dengan pembenahan yang sudah dilakukan, mereka berharap Pemprov melunak.

Pasalnya, pemprov sempat meminta mereka 'mundur' 15 meter dari pinggiran kali alih-alih dari 5 meter yang sudah dilakukan warga pascakesepakatan dengan camat pada 2014.

Sven Hansen, Editor Desk Asia-Pasifik Taz yang mengikuti forum dialog media besutan Kedutaan Besar Jerman dan Yayasan Friedrich Naumann Stiftung Fur Die Freheit itu, punya pandangan atas tren pembangunan yang disertai realokasi di Jakarta. Baginya, sukar membayangkan pemerintah di Jerman dapat menafikan suara warga.

"Saya rasa mereka (warga) memahami, tapi mereka harus punya suara agar Anda bisa mencegah konflik. Hukum pun harus berlaku untuk semua, jangan hanya bagi orang miskin. Aturan batas tempat tinggal dari pinggir sungai misalnya, harus berlaku juga untuk orang kaya. Jadi, amat penting menjaga transparansi, partisipasi, maupun akuntabilitas," urai pria yang telah 30 tahun lebih menekuni profesi jurnalis tersebut.

Gagal

Munculnya kampung-kampung tanpa perencanaam di Ibu Kota, menurut budayawan Franz Magnis Suseno, erat kaitannya dengan urbanisasi.

Dari pengamatannya, Jakarta membesar karena kehadiran pendatang yang terus-menerus. Jakarta membesar karena banyak daerah gagal memakmurkan warganya.

"Yang saya lihat menarik, orang-orang kecil di Jakarta, tinggal di rumah sangat sempit sampai tidur di kursi, tapi anaknya bisa sekolah dengan pakaian baik, punya motor, punya ponsel," ucap pria yang menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di Indonesia itu.

Fenomena lain yang ia amati, orang-orang kurang mampu di Jakarta, umumnya tidak punya rasa iri kepada mereka yang berada. Ya paling tidak, dalam derajat tertentu.

"Mereka orang-orang positif yang biasanya tidak punya agresi besar kecuali dipancing. Mereka bisa hidup sederhana, tidak keberatan orang-orang kaya hidup bermewah-mewah asalkan mereka pun dibiarkan hidup, mencari makan," ungkapnya.

Walakin, harmoni itu bisa putus ketika 'kontrak sosial' tersebut dilukai, misalnya tahu-tahu mereka digusur.

Romo Magnis mengakui, kampung-kampung liar nan kumuh sejatinya tidak menyumbang banyak terhadap kualitas hidup. Namun, penggusuran, sekalipun atas nama pembangunan, bukan jawaban untuknya.

"Bahwa untuk membangun kota perlu pengorbanan, ya. Tapi, tidak 100%," kata dia. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya