Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
KESEDIHAN mendalam masih dirasakan Mabub, warga Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Pada 5 September 2016, putri semata wayangnya menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan lima remaja. Meski sudah berlalu selama lebih dari satu bulan, kondisi psikologis anaknya belum juga pulih.
ABP, inisial sang putri, sampai sekarang kerap merasa takut apabila bertemu dengan pria yang baru dikenalnya. Baru tiga bulan duduk sebagai siswi kelas 1 SMP, setelah kejadian yang menimpanya, ia memutuskan untuk berhenti menimba ilmu. Diceritakan Mabub, anaknya merasa malu bertemu teman-temannya.
Berdasarkan penyidikan yang dilakukan petugas Kepolisian Sektor Pesanggrahan, Jakarta Selatan, proses hukum hanya menjerat dua pelaku tindak asusila yang disebut Presiden Joko Widodo sebagai kasus kejahatan luar biasa.
"Saya juga bingung kok jadi cuma dua pelaku yang tertangkap. Padahal ada lima orang. Bukti foto yang diambil pelaku dari laptop yang disita juga jelas (pelaku) enggak cuma dua," lirihnya.
Rasa ketidakadilan harus kembali diterima pria yang kesehariannya bekerja sebagai petugas keamanan perumahan itu. Berdasarkan hasil putusan persidangan pada 17 Oktober 2016, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap dua pelaku berinisial MYP dan DP.
Kedua pelaku dalam persidangan terbukti telah melakukan pelanggaran sesuai Pasal 285 tentang Tindak Pidana Pemerkosaan, dengan sanksi penjara seharusnya diberikan paling ringan selama 5 tahun dan maksimal 15 tahun.
Bagi Mabub, hukuman yang diberikan jauh lebih ringan ketimbang masa depan buah hatinya yang terbilang sudah hancur itu. Padahal, ia berharap hukuman tersebut bakal berat, supaya ada efek jera terhadap pelaku dan sebagai peringatan bagi orang lain.
"Pas sidang, Pak Nasruddin (JPU dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan) menuntut pelaku hukuman 8 tahun, tapi kok vonisnya bisa jadi cuma 2 tahun. Katanya dia mau banding," bingungnya.
Tahapan demi tahapan proses hukum dilalui Mabub seorang diri tanpa ada pendamping hukum. Diakuinya, ia hanyalah salah satu warga negara yang buta hukum, selain juga dari kalangan ekonomi lemah.
"Waktu di persidangan, saya sempat emosi sama pengacara pelaku. Soalnya anak saya ditanya sambil dibentak. Saya aja sudah susah merayu. Sebelumnya anak saya enggak mau datang sidang karena takut. Habis mau gimana, saya orang enggak mampu (ekonomi lemah). Mau bayar pengacara uang dari mana," ungkapnya.
Menghadapi jalannya proses hukum lanjutan, Mabub masih merasa bingung melangkah. Sebagai orang yang juga berpendidikan rendah, sementara ini ia hanya pasrah dengan keadaan. Ia sangat menyayangkan putusan hakim PN Jaksel yang sudah memberi vonis ringan pelaku.
"Saya enggak tau apa-apa masalah hukum. Mau kemana juga enggak tahu. Mudah-mudahan jaksa benar masih mau nuntut (banding). (Sidang) vonis kemarin saya belum tanda-tangan sama dapat fotokopinya," ujarnya.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menegaskan, dalam kasus ini putusan hakim harus dibatalkan demi hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak saja, menurut dia, sanksi paling ringan yang harus dijatuhkan terhadap pelaku 5 tahun penjara, dan maksimal 15 tahun.
"Kejahatan terhadap anak memang harus tegas ditangani. Belum lama ini, Perppu Nomor 1 Tahun 2016 lebih tegas lagi mengancam pelaku hukuman penjara minimal 20 tahun hingga kebiri, tapi kan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) itu baru disahkan. Lewat Undang-Undang Perlindungan Anak saja, hakim sudah lakukan pelanggaran menjatuhkan hukuman dibawah batas minimal," jelasnya.
Dipaparkan Arist, pelanggaran juga jelas dilakukan penyidik. Selama proses pemeriksaan, semestinya korban harus didampingi kuasa hukum. Penyidik tidak diperkenankan mencecar pertanyaan terhadap korban yang masih trauma akibat baru mengalami musibah.
"Apalagi sampai persidangan si korban harus menghadapi proses hukum sendiri. Psikologisnya pasti sulit pulih karena rasa takut yang menjadi," katanya.
Ia meminta, pihak keluarga korban supaya melapor ke Komnas PA. Tidak cuma menjadi korban pemerkosaan, dalam hal ini pelapor sudah turut pula kehilangan hak atas perlindungan hukum sebagai warga negara. Tidak kalah penting, kondisi psikologis korban secepatnya perlu mendapat perhatian.
"Kita bisa bantu kawal untuk banding dan melapor ke KY (Komisi Yudisial). Hakim setelah memberikan hukuman segitu (2 tahun) harus diperiksa. Kenapa dia memberikan vonis tidak sesuai undang-undang," ketus Arist. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved