Uang Sumber Penyakit Federasi

Sry Utami
11/7/2016 03:15
Uang Sumber Penyakit Federasi
(ANTARA/M AGUNG RAJASA)

PENGELOLAAN keuangan yang setengah hati menjadi sumber penyakit dalam tubuh PSSI.

Akar masalah tersebut telah merambat ke persoalan pelik lainnya dan memicu terjadinya pengaturan skor.

Pada akhirnya, sepak bola Indonesia akan lama jalan di tempat.

Direktur Save Our Soccer Akmal Mahali meminta berbagai pihak serius menanggapi soal tidak transparansinya keuangan PSSI.

Pengaturan skor dapat diminimalisasi jika PSSI mampu menjamin kesejahteraan para pemain.

Penghasilan PSSI tergolong besar yang berasal dari berbagai sumber, antara lain sponsor atau pihak ketiga, sumbangan tidak mengikat, sumbangan pemerintah (anggaran Kemenpora), sumbangan FIFA atau AFC, dan iuran anggota berdasarkan statuta PSSI.

"Pemasukan dari sponsor bisa puluhan miliaran rupiah. Misal, pemberian hak siar pada era kepemimpinan Djohar Arifin kepada stasiun televisi. Dalam kurun waktu tiga tahun, keuntungan peliputan untuk kepentingan timnas senior mencapai Rp180 miliar bersumber dari hak siar RCTI, sementara timnas U-19 berkisar Rp20 miliar-Rp30 miliar dari hak siar SCTV," terang Akmal pekan lalu.

Gaji pengurus PSSI terbilang kecil jika dibandingkan dengan pemasukan yang diterima.

Gaji pengurus PSSI sebelum dibekukan tahun lalu sekitar Rp1 miliar per bulan, atau cuma Rp12 miliar setahun.

Itu menunjukkan keuangan PSSI seharusnya sangat sehat.

Keluhan kerugian pimpinan klub yang berafiliasi dengan PSSI, dinilai Akmal, hanya retorika.

Pasalnya, pengelola yang mengeluhkan kerugian dana malah betah bercokol di struktur elite klub.

"Presiden Direktur Persija Ferry Paulus mengklaim sudah menghabiskan Rp20 miliar dari kantong pribadinya untuk mengurus Persija. Orang normal pasti berpikir, jika tekor sebaiknya berhenti mengurus bola. Namun, yang terjadi dia tetap betah bercokol. Ada sesuatu yang dikejar di dalam klub. Kalau yang dikejar prestasi, tentu kita semua akan angkat topi," sindirnya.

Ferry Paulus sulit dikonfirmasi karena berada di satu tempat dan telepon selulernya tidak aktif.

Demi kemajuan persepakbolaan dalam negeri, Akmal mendesak pengelolaan keuangan PSSI maupun klub dilakukan secara transparan dan disampaikan kepada publik.

Negara yang sedang merintis sepak bola maju seperti Singapura dan Malaysia, bahkan sudah menerapkan pelaporan keuangan secara online.

Laporan keuangan ditayangkan di website agar dapat diakses publik apalagi terkait dengan sumbangan dari negara.

Hasil laporan BPK terkait dengan dana sumbangan pemerintah ke PSSI sepanjang 2010-2014 bermasalah.

Pada 2010, misalnya bantuan dana sebesar Rp414,9 juta dari Kemenpora untuk laga timnas di AFF dan AFC tidak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dan pajak penghasilan yang dibayarkan kurang setor sebesar Rp176,8 juta.

BPK menilai PSSI melakukan pemborosan dari sumbangan dana yang diberikan pemerintah sebesar Rp20 juta.

Untuk pembayaran gaji/honor dan fasilitas hidup pelatih dan asisten pelatih timnas juga terjadi salah hitung oleh bendahara PSSI.

Jumlah yang seharusnya dibayarkan Rp287,2 juta, tetapi dikucurkan Rp318,6 juta sehingga terjadi kelebihan bayar Rp31,4 juta.

Akmal juga meminta PSSI memperjelas dana bantuan FIFA menyangkut arah dan tujuan.

Selama ini, bantuan FIFA dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

Misalnya, bantuan dana pembuatan lapangan bola di Sawangan, Bogor, Jabar, tetapi tanah yang dipakai milik keluarga Bakrie.

Setelah berganti kepengurusan, status lapangan menjadi tidak jelas.

Saat ini bangunan itu diklaim kembali oleh pihak Bakrie sebagai miliknya.

Padahal, sebelumnya pembuatan lapangan menggunakan dana FIFA.

Begitu pula halnya penggunaan dana renovasi kantor PSSI yang berada di dalam fasilitas negara, pemerintah dan PSSI belum satu suara.

Masalah pelik lainnya yang membuat sepak bola Indonesia sulit maju, papar Akmal, karena verifikasi standar kelayakan klub belum benar jalannya.

Bahkan, ada dua klub yang dikelola institusi keamanan negara ikut bermain dalam kompetisi, yakni PS Polri dan PS TNI.

"Ketika dua institusi negara ikut turnamen, lantas siapa yang akan menjaga keamanan pertandingan. Kalau terjadi bentrokan suporter dengan aparat, polisi sebagai aparatur keamanan tidak akan independen," cetusnya.

Ke depan, situasi bisa lebih parah ketika Persija berlaga melawan PS Polri. Suporter kedua belah pihak bisa perang sipil sebagai buntut ricuh beberapa waktu lalu.

Regulasi pemain asing

Selanjutnya, menurut Akmal, yang perlu dibenahi, yakni regulasi kontrak pemain asing.

Di kompetisi Torabika Soccer Championship terlihat banyak pemain asing.

Namun, tidak jelas apakah mereka terikat kontrak kerja atau hanya visa berkunjung.

"Saya pikir hanya jargon jika pemerintah bilang punya misi reformasi. Karena pada akhirnya tata kelola memang tidak benar. Seharusnya, setelah ganti operator, bisa dilaksanakan dengan benar. Profesionalitas klub harus diutamakan dan masalah keuangan klub harus diselesaikan sebelum mengikuti pertandingan. Buktinya, banyak klub tidak sanggup membayar pengeluaran kompetisi, namun memaksakan diri. Akibatnya terjadi pengaturan skor," tuturnya.

Terkait dengan peran pemerintah yang dituding hanya sebatas jargon, Deputi IV Peningkatan Prestasi Olah Raga Kemenpora Gatot S Dewa Broto menuturkan keinginan pemerintah memajukan sepak bola Indonesia sejalan dengan kemauan FIFA, yakni dengan merombak tata kelola PSSI.

Kepengurusan saat ini dan beberapa tahun sebelumnya dipandang melanggengkan tindak kecurangan, salah satunya mengatur skor pertandingan.

"Tata kelola harus direformasi. Soal kecurangan seperti penentuan skor tidak bisa menunjuk perorangan, ini sistem," paparnya.

Menjawab tudingan masyarakat bahwa PSSI selama ini didominasi kader Partai Golkar, menurut Gatot, sudah dikritisi dengan mengajukan draf statuta kepada FIFA.

"Sepak bola sama halnya dengan cabang olahraga lain, dia independen. Artinya, tunduk dengan aturan yang menaungi (FIFA)."

Karena alasan itulah, lanjut Gatot, pemerintah juga tidak bisa mengintervensi terlalu dalam ke tubuh PSSI.

Kalau pemerintah ikut campur akan terkena sanksi, dan hal itu sudah terjadi dengan pembekuan PSSI oleh FIFA pada Mei 2015.

Gatot mengakui berbagai masalah yang menerobos aturan FIFA masih terjadi.

Pemerintah pun dibuat tidak berdaya oleh elite PSSI.

Pihaknya sangat mendukung pemberantasan mafia bola dengan mengubah statuta sesuai ketetapan FIFA.

Sementara itu, Anggota Komisi X DPR Ridwan Hisjam berharap KLB PSSI pada Agustus atau selambatnya Oktober 2016 dapat membawa perubahan dan tidak menimbulkan masalah baru.

"PSSI jangan terjebak dengan suara sesaat tapi tidak sesuai dengan aturan," pesannya.

Menurutnya, DPR setuju saja tampuk pimpinan PSSI dipegang seorang profesional asal tidak ada rekayasa apalagi keluar dari aturan.

"Saya rasa tidak ada yang salah dalam aturan FIFA dan tidak mungkin aturannya merugikan anggota. Setiap tahun ada anggaran dari FIFA ke PSSI dan Partai Golkar tidak ada kepentingan apa pun di situ," terang kader partai beringin tersebut. (Ard/Mhk/RT-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya