Jadikan Industri atau Mati

Sri Utami dan Ardhy Dinata Sitepu
11/7/2016 02:45
Jadikan Industri atau Mati
()

PERKEMBANGAN sepak bola Indonesia menggemaskan. Bukannya beranjak maju, malah semakin mundur.

Kepentingan politik, retaknya hubungan federasi dan pemerintah, serta bercokolnya mafia pengaturan skor membuat wajah sepak bola Indonesia kian babak belur. Akankah PSSI punya semangat untuk bangkit?

Wartawan Media Indonesia, Sri Utami dan Ardhy Dinata Sitepu mewawancarai Direktur Hukum PSSI Aristo Pangaribuan.

Berikut kutipannya.

Dari tahun ke tahun, elite PSSI menduduki jabatan politik dalam kepartaian sehingga rentan memicu konflik dalam federasi. Apakah perbedaan partai menjadi masalah dalam tubuh PSSI?

Kepentingan politik di PSSI tidak bisa dihindarkan.

Untuk menangkal pengaruh politik yang dominan, PSSI semestinya membangun sistem yang mapan.

Sistem itu dijadikan ukuran dalam organisasi agar nantinya bisa membuat kekuatan politik mengikuti sistem.

Sistem seperti apa yang dimaksud?

Selama ini akar masalahnya pada sistem yang kurang baik sehingga muncul loopholes (celah) yang menghambat, seperti mafia pertandingan, hubungan PSSI dan pemerintah, serta soal klub-klub.

Salah satu contoh kegagalan sistem itu bisa dilihat saat proses peralihan Persiram Raja Ampat menjadi PS TNI.

Padahal, menurut undang-undang, TNI tidak dibenarkan melakukan bisnis.

Banyak home base dipindah-pindah karena aturan tidak jelas.

Kapan PSSI menerapkan sistem demikian?

Uji tuntas mengenai apa yang salah dalam persepakbolaan Indonesia pernah dilakukan pada 2013.

Dalam konteks ini, dari segi hukum saja, kita banyak menemukan kesalahan dalam sistem sepak bola nasional khususnya pada ranah kerja PSSI.

Misalnya, bagaimana hubungan PSSI dengan pemerintah.

Ini hubungan atasan bawahan atau mitra kerja. Selanjutnya masalah transparansi keuangan, uangnya PSSI bersumber dari mana, apakah uang publik atau bukan.

Kemudian, hubungan PSSI dengan para anggotanya seperti apa.

Siapa saja anggota PSSI dan bagaimana hubungannya.

Salah satu yang paling disoroti bagaimana hubungan PSSI dengan klub.

Lantas apa yang menghambat PSSI menerapkan sistem tersebut?

Tidak bisa dimungkiri pergantian rezim pemerintah sering kali menjadi sandungan pembenahan sepak bola nasional.

Pemerintah yang sedang berkuasa mempunyai tujuan untuk mengusai berbagai sektor kendati uang beredar di PSSI sebenarnya tidak terlalu besar.

Kalau pola pikir pemerintah masih seperti itu, setiap ganti rezim akan ganti kebijakan.

Beginilah kalau demokrasi belum matang. Orang-orang sibuk berkompetisi, tapi lupa melakukan pembangunan.

Seperti apa idealnya pengelolaan sepak bola Indonesia?

Sudah saatnya Indonesia belajar dari negara lain yang sudah mengategorikan sepak bola sebagai industri.

Tujuannya bukan semata-mata soal pendapatan, melainkan prestasi dan kompetisi yang semakin ketat.

Kalau sepak bola Indonesia sebuah industri, prestasi ibarat bom waktu.

Klub berprestasi punya uang banyak dengan kompetisi ketat. Amerika Serikat sudah membangun sepak bola sebagai industri.

Sebelumnya mereka jauh tertinggal, tapi sekarang tumbuh sebagai tim sepak bola yang cukup baik.

Inilah sebabnya perlu dibangun sistem dan pembangunan infrastruktur yang mapan.

Kecurangan dalam sepak bola Indonesia kian nyata. Kenapa pengaturan skor sulit diberantas?

Kompetisi Indonesia seperti ISC (Indonesia Soccer Competition) bukan hanya di Indonesia.

Pasar ISC dijual secara online lewat situs-situs bola.

Kalau Anda lihat www.matchbet.com, pasti ada dijual di sana.

Kalau bisa, diatur skornya agar diketahui pasarnya.

Begitu konsekuensi bisnis.

Kalau negara maju mengenal batinghouse. Rating penjualan di batinghouse memengaruhi orang-orang untuk berbuat curang.

Banyak liga di dunia, mengapa Indonesia juga menjadi sasaran pengatur skor internasional?

Indonesia masih menjadi sasaran karena sepak bola kita belum maju.

Di Indonesia, pengaturan skor bisa lebih mudah, mungkin tidak terjadi lewat instusi, tapi bisa hanya melibatkan tiga dari 11 pemain.

Mengapa PSSI tidak memberantasnya?

Pengaturan skor sulit diberantas. Pemerintah semestinya ikut serta dalam pemberantasan perilaku curang ini lewat aturan perundang-undangan dengan menjerat korupsi swasta.

Ini memang tanggung jawab utama federasi, tetapi tidak semata-mata pemerintah lepas tangan karena dalam peraturannya ada korupsi swasta.

Di tingkat federasi hanya menjatuhkan sanksi etika seperti diberikan kepada PSS dan PSIS.

Sanksi etika kan gampang dikelabui.

Mereka dengan cepat berganti nama lagi bahkan diterima kembali sebagai inisiator klub.

Seharusnya seperti apa?

Ibarat bisnis perbankan. Dalam sistem persepakbolaan Indonesia harus ada 'Bank Indonesia' sebagai pengawas.

Di sini PSSI yang menjadi pengawas klub-klub bola.

Kecurangan terjadi karena lemahnya pengawasan klub.

Apa hambatan PSSI dalam mengawasi klub?

Sering terhambat karena adanya disparitas hubungan antara pemilik badan usaha dan klub. Saya katakan sejak dulu bahwa hubungan kedua belah pihak harus segera diperbaiki.

Menurut peraturan AFC 2008, klub wajib memiliki badan hukum komersial.

Dalam perjalanannya, pengelolaan keuangan tidak transparan lantaran hanya dikuasai segelintir orang.

Pemain dan para fan menjadi rantai makanan paling bawah.

Ketika dana APBD mengucur kepada klub, mereka hanya menikmati sebagian kecil.

Seperti Arema Malang yang tidak memiliki relasi jelas antara pemilik badan usaha dan pengurus klub.

Jadi sangat rentan konflik. Selain Arema, ada Persebaya, Persiram Raja Ampat, dan banyak klub lain.

Menurut rencana, PSSI akan menggelar konferensi luar biasa (KLB) pada Agustus ini atau selambatnya Oktober 2016. Sejauh apa persiapannya?

KLB digelar atas kesepakatan 92 perwakilan PSSI di daerah.

Saat ini dapat dirasakan bagaimana dinamika politik internal organisasi menyambut KLB. Sebagai organisasi, itu merupakan hal wajar.

Tidak bisa dimungkiri, keberlangsungan KLB selalu dibarengi dengan perpecahan dalam perebutan kekuasaan.

PSSI ini kan politik. Dalam politik biasa ada pihak-pihak yang mempertahankan kekuasaan ataupun saling menjatuhkan.

Itu esensi demokrasi. Makanya, dalam setiap pemilihan ada perpecahan.

Siapa saja calon ketua yang akan berlaga?

Masih terlalu dini untuk menjawab siapa saja calon yang bakal maju.

Hingga saat ini pendaftaran komite pemilihan belum dibuka.

Calon ketua umum merujuk pada persyaratan PSSI, seperti tidak pernah terlibat pidana, berdomisili di Indonesia, dan berusia paling tidak 30 tahun.

Apakah La Nyalla bisa kembali mencalonkan diri sebagai ketua umum PSSI?

Saya tidak tahu-menahu apakah beliau kembali mencalonkan diri atau tidak.

Namun, secara aturan calon ketua umum PSSI tidak boleh memiliki catatan kriminal.

Artinya, La Nyalla tidak bisa dicalonkan lantaran terjerat perkara hukum.

Saya juga tidak bisa memastikan apakah simpatisan atau orang-orang yang satu arus perjuangan dengan La Nyalla akan mencalonkan diri.

Sejauh ini, setahu saya, yang berminat selain sipil juga ada dari unsur TNI. (T-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya