Mafia Bola Kuasai PSSI

Ardhy Dinata Sitepu
11/7/2016 02:30
Mafia Bola Kuasai PSSI
(ANTARA/WAHYU PUTRO A)

SEPANJANG Juni dan Juli, dua turnamen sepak bola mengundang perhatian dunia, yaitu Copa Amerika serta Euro 2016.

Cile ditahbiskan sebagai penguasa Benua Amerika, sedangkan jawara Benua Eropa ditentukan dini hari tadi antara Prancis dan Portugal.

Sekalipun bukan sebagai kampiun, negara penyelenggara yang berhasil mengutus tim nasional mereka ke turnamen internasional selalu mendapat apresiasi kuat dari rakyat mereka.

Sepak bola seperti lem yang merekatkan secara otomatis persatuan dan kesatuan anak-anak bangsa sekalipun berbeda secara politik.

Rakyat bahkan tidak menghiraukan pengeluaran puluhan hingga ratusan juta agar dapat menyaksikan langsung tim nasional berlaga.

Betapa merekatnya kesatuan rakyat Islandia, dengan penduduk cuma 330 ribu jiwa, bisa memiliki sebuah tim nasional yang mampu mengukir sejarah indah di gelanggang Piala Eropa.

Tim nasional yang sering diganggu cuaca saat berlatih karena musim di negara mereka didominasi salju dengan gemilang menyingkirkan Belanda di babak penyisihan bahkan memaksa raksasa Inggris angkat koper di babak 16 besar pada 28 Juni.

Kemenangan atas Inggris yang merupakan nenek moyangnya sepak bola membuat kebahagiaan rakyat Islandia terbang ke langit.

Mereka merayakannya ala Viking dengan menepukkan tangan jauh di atas kepala kemudian berteriak sekeras-kerasnya.

Mereka kemudian tertawa bersama dan berpelukan dalam persatuan sekalipun baru bertemu sekali itu di Stadion Allianz Riviera, Nice.

Gairah dan nasionalisme Islandia itu sangat dirindukan pencinta bola di Indonesia.

Negara dengan penduduk terbesar kelima di dunia (241.452.952 jiwa) atau 371 kali lebih banyak ketimbang Islandia ini sudah 50 tahun lebih memimpikan kelahiran 24 anak bangsa berbakat yang bisa membawa tim nasional masuk ke kancah persepakbolaan dunia.

Kementerian Pemuda dan Olahraga maupun PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) sudah menghabiskan banyak dana.

Namun, hingga detik ini, mereka tak pernah berhasil menemukan 24 anak berbakat itu.

Kedua lembaga itu justru sibuk mengurusi pertikaian organisasi, perkelahian suporter, pengaturan skor, serta penentuan siapa juara liga.

Selama setahun masa pembekuan liga Indonesia (Mei 2015-Juni 2016), menurut Manajer Bisnis dan Hukum Persema Malang Bambang Suryo, watak persepakbolaan Indonesia tetap tidak berubah.

"Belum ada pembenahan signifikan terutama dalam pengawasan perilaku curang match fixing (pengaturan skor)," tuturnya, dua pekan lalu.

Pengaturan skor sudah menjadi rahasia umum semua klub yang disadari sebagai salah satu biang kehancuran bibit-bibit pemain berbakat.

Sehebat apa pun seorang pemain sepak bola, mereka cenderung mengikuti instruksi mafia, pelatih, atau klub untuk bermain curang.

"Persebaya bisa menang di menit terakhir melawan Persiba Balikpapan 2-0 baru-baru ini, bagaimana ceritanya?" kata Bambang memberi contoh.

Hampir semua klub dan pemain senior mengetahui soal match fixing.

Pemain tidak bisa komentar lantaran ditekan klub.

"Saya yakin pemain sekaliber Maman Suryaman, Bambang Pamungkas, dan Firman Utina mengetahui match fixing," lanjut Bambang.

Bambang yang juga pernah terlibat match fixing mengungkapkan bagaimana permainan berlangsung.

Pertama-tama mafia pengaturan skor bertemu dengan pemilik dana (warga negara asing) dan menerima masukan apa kemaun sang bandar.

Pelaku kemudian meminta pelatih dan/atau pemain mengatur di lapangan dengan imbalan uang dalam jumlah besar.

"Kita ketemu pemain, atur kalahnya sekian gol pada menit sekian, golnya dari sudut mana. Uang yang diberi berjumlah ratusan juta rupiah, bahkan bisa sampai Rp800 juta sekali pertandingan," tuturnya.

Memiliki rekaman

Bambang memiliki rekaman adanya transaksi saat turnamen Piala Jenderal Sudirman maupun Torabika Soccer Competition, beberapa waktu lalu.

"Saya sudah melapor ke Kapolresta Solo dengan bantuan Kolonel Imam Suroso dari BOPI. Bahkan saya sudah sampaikan ke Menpora, tapi tidak digubris," cetusnya.

Bambang sedikit membela ketua umum nonaktif PSSI La Nyalla Mattalitti yang berkomitmen memberantas mafia bola.

"Sebenarnya dia tidak salah, bahkan jadi korban. Ketika bertemu beliau di Singapura (sewaktu buron), Pak Nyalla menyampaikan, kalau mau direformasi, jangan nanggung, ganti semua yang bermasalah," papar Bambang sambil menyebutkan nama-nama pengurus bermasalah.

Berhubung nama-nama tersebut belum terkonfirmasi, Media Indonesia menyajikannya dalam kesempatan terpisah.

Bambang pesimistis kongres luar biasa yang disepakati Agustus atau selambatnya 31 Oktober 2016 dapat mengubah kinerja PSSI sepanjang komite eksekutif masih si itu itu juga.

"Wajah baru, PSSI baru, tapi orang lama, ya tetap kelakuan sama," paparnya.

Jika melihat wajah PSSI sekarang, Bambang memprediksi Indonesia belum bisa berkiprah dalam jagat sepak bola dunia pada kurun waktu 20-30 tahun mendatang karena cengkraman mafia bola demikian kuatnya.

Mengingat rata-rata usia manusia pada kisaran 70 tahunan, mimpi pecinta sepak bola nasional yang kini berusia 50 tahun dapat melihat tim mereka bermain di piala dunia akan terkubur selamanya.

Beberapa pemain senior yang ditengarai mengetahui adanya pengaturan skor lebih memilih bungkam saat ditanya seputar pengaturan skor.

Alasan mereka, tidak mau terlibat.

Mereka sepertinya tidak peduli bahwa persepakbolaan nasional telah keropos digerogoti kecoa pengatur skor.

Berbeda dengan Rochy Melkiano Putiray, 46, salah satu legenda sepak bola Indonesia yang menduduki posisi keempat pencetak gol terbanyak nasional.

Dia berani menyebut uang sebagai biang kemerosotan prestasi sepak bola di Tanah Air.

"Mau siapa pun yang duduk di PSSI (orang partai atau profesional), sepanjang mereka tidak memikirkan uang, kita bisa berprestasi. Semua masalah karena uang, uang!" tegasnya.

Mengatur skor sepak bola sudah menjadi hobi sejumlah orang yang punya uang banyak.

Struktur organisasi PSSI yang buruk, menurut Rochy yang mengemas 17 gol dalam 41 penampilan bersama tim nasional, menjadi celah para mafia mendapatkan keuntungan.

Striker paling eksentrik dengan rambut dicat warna-warni dan dua kali menciptakan hattrick ke gawang Kamboja di 1997 dan 1999 itu juga menyesalkan sikap pemerintah yang terlalu mudah melepas klub untuk diprivatisasi.

"Seperti Persija, kita tahu itu punya pemerintah, punya masyarakat Jakarta lalu diprivatisasi. Kasus itu kita tahu arahnya dari mana. Ide itu dari siapa yang bakal dijadikan uang. Semuanya diatur," jelas Rochy.

Karena memang sudah diatur, dalam pelanggaran pemain di lapangan pun uang sudah bermain.

"Uang mengalir ke beberapa orang, khususnya pelatih. Kalau pelatih tidak bisa diajak kerja sama, ya ditendang," tegas Rochy yang pernah mencicipi Liga Hong Kong dan mencetak dua gol saat klubnya, South China AA, menjajal raksasa Italia, AC Milan.

Asal bergulir

Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI Djamal Aziz mengakui paskapencabutan pembekuan sanksi FIFA, PSSI malah dinakhodai para mafia lama yang punya kepentingan.

Djamal menyebut orang tersebut sebagai para ketua kelas yang ingin mengambil alih PSSI.

Bercokolnya para mafia membuat pengurus semakin karut-marut dan pengelolaan kompetisi sepak bola nasional pun jadi asal bergulir.

Menurutnya, Torabika Soccer Competition rentan konflik karena manajemennya berasal dari mafia-mafia lama.

"Kita sudah lihat Torabika Soccer Competition. Lihat semua pertandingannya, hancur. Bagaimana tata kelolanya? Orang-orang inilah yang mau kembali bercokol di PSSI dan hendak mempertahankan sepak bola kita gagal dan hancur. Sebenarnya Pak (La) Nyalla (Mattalitti) sudah membuat fakta integritas akan membabat semua."

Menyoal seputar rencana KLB (kongres luar biasa) Agustus mendatang, Jamal menyatakan para mafia lama itulah yang mendesak penggantian Ketua Umum PSSI.

Padahal, tidak mungkin dilakukan kongres dalam waktu dekat mengingat belum ada komite pemilihan maupun komite banding.

Agenda KLB akan terbatas pada pemilihan kedua komite tersebut.

Apalagi statuta PSSI mensyaratkan pemilihan ketua dilakukan dalam jangka waktu tiga sampai enam bulan.

"Tidak ada kongres dalam waktu dekat dan tidak ada pergantian ketua. Itu hanya KLB untuk membahas materi agenda dalam kongres. Agenda yang dibahas meliputi penetapkan komite pemilihan, komite banding, dan electoral code," terangnya.

Setelah semua ditentukan, menurut Jamal, kongres untuk pemilihan ketua dan dua exco yang undur diri akan diperdebatkan pada 3 Agustus.

"Jadi apa pun desakannya, jika aturan menetapkan seperti itu, tidak bisa dilakukan pemilihan," imbuhnya.

Mengenai hubungan La Nyalla Matalitti dan pemerintah, Jamal tidak mau berbicara banyak.

Menurutnya, La Nyalla hanyalah korban. Pemerintah tidak mendukung La Nyalla karena keras dan tidak bisa didikte, jadi banyak yang tidak suka. (Ami/Mhk/T-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya