Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
WAJAH Sukaeti, 45, berseri-seri setelah mengetahui pesanan dodolnya sudah siap dibawa pulang.
Sukaeti memesan 20 keranjang dodol dari Wan Salmah, salah satu pembuat dodol ternama di kawasan Jalan Damai, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Perkeranjangnya dihargai Rp75.000, berat satu keranjang sekitar satu kilogram.
Sukaeti alias Eti, panggilan akrabnya, memang pelanggan setia Wan Salmah.
Keluarga dan kerabatnya yang tinggal di kawasan Pasar Minggu dan Condet penggemar berat dodol.
Kali ini pun ia hendak mengantarkan dodol-dodol yang sudah ia pesan ke beberapa kerabat.
Sebab saat Lebaran, dodol merupakan menu wajib untuk dihidangkan ke tamu.
"Hampir tiap bulan kita pesan. Ini memang penganan wajib ada di rumah. Maklum orang Betawi. Ini mau diantar ke rumah saudara juga ada yang titip," ujar Eti kepada Media Indonesia, akhir pekan lalu.
Selama Ramadan kemarin, jelas Eti, ia dua kali memesan dodol betawi di Wan Salmah.
Pada awal puasa, ia telah memesan sebanyak 15 keranjang dodol untuk dihantarkan ke rumah kerabat pada hari ke-15 puasa.
Sebab, pada saat itu ada tradisi mengantar makanan ke rumah tetangga dekat dan saudara.
"Iya istilahnya ganti ayat. Kita bikin ketupat sama kue dan harus ada dodol juga," ujarnya.
Menurut Eti, dodol buatan Wan Salmah rasanya tidak pernah berubah meski sudah puluhan tahun berproduksi.
Dari segi harga, meskipun sedikit lebih mahal dari penjual dodol lain, Eti tidak keberatan karena faktor rasa yang sudah telanjur disukai sejak lama.
"Rasa enggak pernah berubah, manisnya pas. Saya pernah beli dodol di tempat lain, kurang gimana gitu," kilahnya.
Masih bertahan
Dari tiga rasa dodol yang dijual Wan Salmah, yakni rasa durian, original, dan ketan hitam, Eti paling sering membeli rasa original dan durian.
Rasa asli dodol disukai golongan orang tua. Sementara rasa durian disukai anak-anak muda.
Dodol pun dianggap makanan yang bisa diandalkan untuk jadi camilan keluarga karena sifatnya yang awet.
"Kan dia tahan lama. Jadi kalau kue lain sudah habis, dodol masih ada dan dimakan saja. Bisa diolah dengan digoreng pakai tepung juga. Jadi enggak bosan kita," imbuhnya.
Sama halnya dengan Isti, 40, warga Pejaten, Jakarta Selatan, yang ditemui di tempat yang sama.
Namun, Isti membeli dodol dalam jumlah kecil yakni hanya tujuh hingga sepuluh keranjang.
Sebab, keluarganya telah terinfiltrasi dengan suku lain. Sehingga, kini tak semua generasi di keluarga besarnya menyukai dodol.
"Keluarga saya sudah campur, nikahnya bukan sama orang Betawi, jadinya ada yang enggak suka dodol. Makanya sekarang semakin sedikit belinya. Dulu beli bisa 15 sampai 20 keranjang," tukasnya.
Meski tak banyak lagi anggota keluarganya yang menyukai panganan legit berwarna cokelat tua itu, ia tetap membeli dodol setiap Lebaran.
Baik untuk dirinya sendiri maupun dibagikan ke tetangga.
Menyediakan dodol saat Lebaran bukan hanya untuk kudapan, tetapi juga bagian dari upaya memelihara tradisi.
"Ini tradisi sih, jadi harus ada. Tapi, yang makan ya yang tua-tua saja. Yang muda sudah enggak mau makan dodol. Lebih pilih kue yang lain seperti nastar dan kastengel," tuturnya. (J-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved