Pak Jokowi, Tolonglah Kami

Mhk/Ami/Ard/T-1
28/6/2016 02:30
Pak Jokowi, Tolonglah Kami
(ANTARA/DIDIK SUHARTONO)

AIR matanya berderai saat menceritakan kegetiran kisah hidup yang harus dijalani. Cobaan berat menghampiri Sutiasih, ibu beranak tiga asal Malang, Jawa Timur, secara bertubi-tubi.

Setiap hari, perempuan berusia 35 tahun itu bekerja mati-matian untuk menghidupi tiga putra-putrinya yang masih kecil.

Semua sudut kota Surabaya dia masuki untuk menjajakan kopi, teh, dan kue-kue kecil.

Pekan lalu, ditemani putri sulungnya yang baru berusia 9 tahun, Sutiasih menggelar dagangan di sekitar Stasiun Kereta Api Pasar Turi.

"Anak saya ini berhenti bersekolah karena tidak ada biaya. Dia terpaksa ikut membantu saya keliling berjualan setiap hari," kata Sutiasih sambil menyisir rambut putrinya.

Saat berkeliling, dua anaknya yang berumur 5 dan 2 tahun dititipkan ke tetangga. Apa daya, sejak Sutiasih kehilangan pekerjaan di PT Cinderella Villa Indonesia, kemiskinan melilit keluarga itu.

Tiga tahun lalu, kehidupan mereka terbilang layak.

Saat itu, Sutiasih masih bekerja sebagai operator jahit di PT Cinderella Villa Indonesia.

Suaminya menjadi montir di bengkel sepeda motor.

Pendapatannya sebagai buruh di perusahaan sepatu itu cukup untuk hidup sederhana.

Setiap bulan dia bisa membawa pulang gaji berikut uang lemburan antara Rp2,7 juta hingga Rp3 juta.

Sehari-hari mereka tinggal di rumah kontrakan sederhana. Putri semata wayang mereka sudah duduk di bangku kelas satu sekolah dasar.

Awal tahun lalu, kesedihan menyelimuti keluarga Sutiasih.

Suaminya pergi untuk selamanya setelah menderita sakit parah.

Tidak berhenti di situ, cobaan hidup kembali menghunjam. Pada September 2015, Sutiasih kehilangan pekerjaannya.

Dia menganggur bukan karena tidak becus bekerja, tapi eksekusi lahan dan pabrik PT Cinderella Villa Indonesia merampas sumber penghidupannya.

Sebanyak 2.200 personel Polri dari berbagai wilayah di Jawa Timur membentuk barikade untuk mengusir ribuan buruh yang mempertahankan pekerjaan mereka.

"Mereka seperti monster. Teman-teman yang bertahan di sekitar pabrik dipukuli dan ditendang tanpa ampun," kata Sutiasih menggambarkan tindakan aparat Polri saat pelaksanaan eksekusi.

Setelah eksekusi berhasil, ribuan buruh pabrik PT Cinderella Villa Indonesia menanggung akibatnya.

Mereka kehilangan pekerjaan. Satu per satu barang-barang berharga terjual untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Karena tak kunjung mendapat pekerjaan, akhirnya dia memutuskan menjadi pedagang kopi, teh, dan kue-kue kecil keliling.

Kehidupannya berubah drastis.

Bersama tiga anaknya, mereka berpindah-pindah dari satu kamar ke kamar kontrakan lainnya lantaran tidak mampu membayar biaya sewa.

Meski menjalani hidup penuh penderitaan, Sutiasih masih berharap kehidupan keluarganya dapat membaik di kemudian hari.

Dia mengingat janji manajemen PT Cinderella Villa Indonesia.

Semua buruh akan dipanggil bekerja bila perusahaan mendapatkan haknya kembali.

Dalam perbincangan dengan rekan-rekannya, Sutiasih menyadari kesempatan para buruh untuk kembali bekerja di pabrik sepatu itu bisa terwujud jika presiden turun tangan membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Ribuan buruh pabrik sepatu itu mengharapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperhatikan nasib mereka.

"Pak Jokowi, tolonglah kami. Hanya Bapak yang bisa membantu kaum buruh yang lemah ini," pintanya.

Sutiasih bertekad, jika Presiden bertandang ke Surabaya, dia akan menemui dan bersimpuh di kakinya untuk memohon pertolongan membantu perjuangan para buruh PT Cinderella Villa Indonesia.

Keinginan untuk kembali bekerja di pabrik sepatu itu tidak hanya menjadi harapan Sutiasih.

Narto, pengawas di divisi quality control, sangat berharap perusahaan beroperasi kembali.

Pascaeksekusi, kehidupan pria lajang itu memang lebih beruntung ketimbang Sutiasih.

Dia diterima bekerja di perusahaan ekspedisi.

Namun, pemuda asal Madura itu tetap merindukan pekerjaannya di PT Cinderella Villa Indonesia.

"Kesejahteraan saya lebih baik saat bekerja di pabrik sepatu daripada di tempat sekarang," kata Narto.

Keinginannya dapat kembali bekerja di pabrik itu bukan hanya karena faktor penghasilan yang lebih baik, lingkungan kerja yang nyaman menjadi pemacu motivasinya.

Kecintaan Narto terhadap perusahaan dinyatakan saat bergabung dengan ribuan buruh untuk mempertahankan pabrik.

Dia merelakan sekujur tubuhnya lebam akibat keganasan pukulan dan tendangan aparat demi menggagalkan eksekusi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya