Monopoli Berpotensi di Kemendag

BERAGAM praktik kotor dilakukan untuk meraup keuntungan besar dari pengadaan suplai dan distribusi gula.

Salah satu yang santer ialah kartel.

Namun, kini permasalahan sudah lebih kompleks.

Persoalan tidak hanya terkait dengan konspirasi sejumlah pedagang gula untuk mengerek harga.

Pengurusan izin impor gula juga ikut memperburuk keadaan.

Saat ini pengurusan izin impor terkonsentrasi di Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI) mengatakan pada kondisi seperti itu rentan terjadi monopoli.

Sejak akhir 2015, Kemendag mengeluarkan sejumlah paket debirokratisasi untuk memotong tahapan birokrasi.

Hal yang dinilai tidak penting dipangkas.

Salah satu debirokratisasi itu tercantum dalam paket ketujuh.

Paket itu memuat keputusan menghilangkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dalam hal impor gula.

"Sekarang semua sudah diatur Kemendag. Tidak perlu lagi mengurus ke tempat lain (kementerian terkait)," ujar Wachid yang juga menjabat Wakil Panitia Kerja Gula Komisi VI DPR.

Konsentrasi di Kemendag berimbas ke sejumlah kementerian. Pejabat di beberapa kementerian, sambungnya, mempertanyakan mengapa izin impor gula dimonopoli Kemendag.

"Saya mendengar keluhan itu dari beberapa kementerian. Gula itu untungnya kecil, tapi imbasnya secara politik besar. Belum lagi suka bikin ribut. Kalau harga naik sedikit saja bisa jadi ramai."

Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir, mengaku tidak tahu-menahu soal permainan untuk mendapatkan kuota impor gula.

Namun, dia tidak menepis adanya praktik mafia di alur distribusi. Utamanya gula kristal putih.

Permainan terjadi di level pedagang.

Caranya ialah dengan menimbun gula untuk mengurangi suplai agar harga melambung.

Saat harga gula tinggi dan mereka memperoleh margin yang besar, secara perlahan stok gula yang ditimbun dilepas ke pasar.

Permaianan mafia gula ini dikenal dengan sebutan tujuh samurai, yakni tujuh pedagang besar yang menguasai distribusi gula.

"Kartel dari pedagang tentu ada karena mereka ingin menimbum sembari menunggu kenaikan harga. Komisi Pengawas Persaingan Usaha sedang memeriksa kartel gula ini. Untuk pemain besar saya rasa kurang etis untuk disebut," ujarnya.

Dari penelusuran, terungkap sepak terjang para pedagang yang memainkan suplai untuk mengerek harga.

Secara rutin praktik itu dilakukan menjelang perayaan hari besar, seperti Idul Fitri.

Hal itu pula yang terjadi saat ini.

Harga gula di tingkat pengecer merangkak naik.

Pemerintah mulai kewalahan dan menghendaki harga gula berada di level Rp12.500 per kilogram.

Untuk mencapai level itu, penambahan kuota impor gula kristal putih sebanyak 381 ribu ton menjadi opsi utama.

Akibatnya, di sepanjang 2016 impor gula meningkat tajam.

Pada 2015 impor gula tidak ada sama sekali.

Pemerintah beralasan peningkatan kebutuhan gula dalam negeri terjadi lantaran proses giling mundur selama tiga bulan.

Produksi petani sebanyak 2.5 juta ton.

Di sisi lain, kebutuhan nasional mencapai 3,04 juta ton.

Untuk menambal kekurangannya sekaligus menjaga stabilitas harga di masyarakat, pemerintah membuka keran impor. (Ard/Sru/T-2)