Berlomba Berebut Kuota Rafinasi

Sru/Ard/T-2
13/6/2016 07:10
Berlomba Berebut Kuota Rafinasi
(Grafis--MI/Caksono)

'ADA gula ada semut' bermakna orang-orang akan tertarik datang ke tempat yang menjanjikan kesejahteraan untuk mereka.

Ungkapan tersebut tepat untuk menggambarkan bisnis importasi gula di Tanah Air.

Gula menjadi rebutan karena mendatangkan keuntungan besar.

Persaingan antarpelaku usaha berbuntut menjadi kegaduhan karena memperebutkan kuota impor.

Setiap tahun terjadi cekcok karena importasi gula.

Pengawasan terhadap mekanisme impor yang lemah dituding sebagai penyebabnya.

Menurut Wakil Panitia Kerja (Panja) Gula Komisi VI DPR Abdul Wachid, pemerintah belum memiliki neraca gula nasional yang terintegrasi antarkementerian.

Tiga kementerian selaku pemangku kepentingan, yaitu Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak pernah akur dalam menetapkan jumlah kebutuhan gula secara nasional.

Padahal, tanpa neraca gula, tidak dapat diketahui angka kebutuhan riil.

"Kami di Komisi VI selalu menanyakan neraca gula karena sejak 2015 tidak pernah disampaikan ke DPR. Padahal kita ingin membuat sinkronisasi antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian," kata Wachid.

Hal yang terjadi selama ini, jumlah kebutuhan gula secara statistik berbeda-beda di tiga kementerian tersebut.

Perbedaan itu menciptakan selisih yang kemudian dipakai pemerintah sebagai alasan untuk mengimpor gula secara terus-menerus.

Metode pengumpulan data yang berbeda-beda di tiap kementerian menjadi penyebab angka kebutuhan gula tidak seragam.

Misalnya, Kementan selalu mengambil data dari lapangan.

Di sisi lain, Kemendag menilai pasokan gula dari produsen lokal tidak mencukupi.

Akibatnya, saat Kementan tidak mengharapkan impor, justru Kemendag menginisiasi pembelian gula dari luar negeri.


Picu perdebatan

Ketidakakuran tiga kementerian itu memicu perdebatan saat penetapan importasi gula.

Contoh, pemberian kuota impor gula rafinasi kepada Induk Koperasi Kepolisian (Inkoppol) pada Mei 2016.

Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan 11 perusahaan sebagai importir gula rafinasi setelah melakukan penghitungan kebutuhan pada 2016.

Namun, tanpa memedulikan regulasi tentang larangan persaingan usaha tidak sehat, secara sepihak Kemendag memberikan kuota sebesar 200 ribu ton kepada Inkoppol tanpa melalui mekanisme tender.

Menurut Wachid, sejak 2013 Inkoppol kerap melakukan impor raw sugar dengan kuota yang terus meningkat.

Alasan impor gula tersebut ialah untuk memenuhi kebutuhan anggota Polri di daerah perbatasan.

"Dulu 100 ribu ton, kemudian naik 150 ribu ton dan sekarang 200 ribu ton. Mereka tidak pernah melapor ke Komisi VI," ujarnya.

Berbagai alasan diungkapkan Sekretaris Inkoppol Boedi Santoso untuk membenarkan pemberian kuota tersebut.

Salah satunya ialah peran Inkoppol membantu menstabilkan harga gula di pasar.

"Keterlibatan kepolisian juga dimaksudkan untuk memperkecil upaya kecurangan dalam proses distribus. Jadi kalau pelaksanaanya ada yang menyimpang bisa langsung dilaporkan ke satuan polisi di daerah tersebut," ujar Boedi.

Ancaman terhadap kestabilan gula nasional seperti tidak pernah akan mereda.

Tanpa pengawasan yang profesional oleh pemerintah, pemenuhan kebutuhan gula nasional akan tetap menjadi lahan subur bagi para pemburu rente.

Di masa depan, pemerintah juga akan mengimpor gula kristal putih dalam volume besar. Keran impor akan dibuka kembali untuk mendatangkan sebanyak 381 ribu ton.

Rencana itu tercantum dalam surat Menteri BUMN Nomor S-288/MBU/05/2016 Tanggal 12 Mei 2016 yang berisi pengajuan permohonan impor raw sugar kepada Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian.

Impor akan dilakukan PTPN X dan dialokasikan ke PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII, PT PG Rajawali I, serta PT PG Rajawali II. (Sru/Ard/T-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya