Putusan PN Lebih Berdigdaya daripada MA

Jonggi Manihuruk
16/5/2016 06:15
Putusan PN Lebih Berdigdaya daripada MA
(DOK. PT CVI)

KEADILAN sudah menjadi sebuah komoditas di negeri ini.

Sekali pun putusan sudah berkekuatan hukum tetap, tangan-tangan kuat di lembaga peradilan dapat mengubahnya menjadi tak berguna.

Sebuah kasus sengketa tanah di Surabaya, Jawa Timur, menjadi contoh fenomena itu.

Pada kasus itu, sindikat mafia peradilan di Mahkamah Agung (MA) diduga bermain di belakang salah satu pihak yang beperkara.

Kisah tragis itu dilegalisasi dengan mengerahkan 2.200 aparat kepolisian untuk mengambil alih objek sengketa dengan paksa.

Korbannya pabrik PT Cinderella Vila Indonesia (CVI).

Perusahaan berbasis penanaman modal asing (PMA) yang mempekerjakan sekitar 5.000 karyawan itu tak berdaya ketika petugas bersenjata lengkap menghajar siapa saja yang menghalangi mereka.

Pabrik di atas lahan seluas 25.590 meter persegi di Jalan Tanjungsari 73-75, Kelurahan Asemrowo, Kecamatan Tandes, Surabaya, Jawa Timur, itu jatuh ke tangan aparat pada 3 September 2015.

Penelusuran Media Indonesia menemukan jejak konspirasi yang melibatkan sindikat mafia peradilan.

Indikasinya terlihat pada penerbitan Surat Penetapan Eksekusi Nomor W14-U1.6207/Pdt/VIII/2015 pada 27 Agustus 2015 oleh Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Nur Hakim.

Surat itu berisi instruksi eksekusi dan pengosongan sebidang tanah tambak mayor di Jalan Tanjungsari 73-75 untuk melaksanakan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya 30 April 2009 Nomor 46/EKS/2006/PN.Sby jo Nomor 191/Pdt.G/2006/PN.Sby.

Pada salinan surat penetapan eksekusi, terlihat sejumlah keganjilan.

Pertama, tidak disebutkan secara jelas identitas termohon eksekusi.

Kedua, PT CVI selaku pemilik lahan yang dieksekusi tidak terkait dalam putusan Nomor 191/Pdt.G/2006/PN.Sby.

Kentalnya konspirasi terlihat pada surat eksekusi yang diterbitkan secara berturut-turut oleh panitera.

Panitera M Ramli meneken Surat Eksekusi Nomor W14-U1/3001/Pdt/V/2011 pada 30 Mei 2011 dan surat sejenis Nomor W14-U1/626/Pdt/2011 pada 28 Oktober 2011.

Selanjutnya, panitera Darno menandatangani Surat Eksekusi Nomor W14-U1/8185/Pdt/XII/2013 pada Desember 2013.

Terakhir, panitera Gde Ngurah Arya Winaya meneken Surat Eksekusi Nomor W14-U1/8186/Pdt/XII/2014 pada 4 Desember 2014.

Di pihak lain, wakil panitera Satrio Prayitno menerbitkan Surat Penundaan Eksekusi Nomor W14-U1/657/Pdt/II/2011 pada 7 Februari 2011.

Pada surat eksekusi yang diteken Ramli dan surat penundaan eksekusi yang ditandatangani Satrio, diuraikan secara jelas dua pihak yang beperkara.

Mereka yang berperkara ialah Moeksaid Suparman dari PT EMKL Pendawa selaku pemohon eksekusi dan Rachmat Bhakti sebagai pihak termohon.

Sementara itu, PT CVI tidak disebutkan karena tidak terkait dengan perkara itu.

Kejanggalan lain, kelengkapan penyebutan pihak beperkara tidak terlihat dalam surat eksekusi yang diteken Nur Hakim.

Dia hanya mencantumkan nama Direktur PT EMKL Pendawa Lim Salim Utomo selaku pemohon eksekusi di kaki surat sebagai penerima tembusan surat eksekusi.

Namun, identitas termohon eksekusi tidak disebutkan.

Pimpinan PT CVI Suwadji Wijaya kaget dengan adanya eksekusi karena merasa sebagai pemilik yang sah.

Pengadilan negeri hingga MA menyatakan pabrik dan lahan di Jalan Tanjungsari 73-75 milik PT CVI.

"Di tingkat peninjauan kembali (PK), majelis hakim juga memenangkan kami," ujar Suaji, Rabu (4/5).

Di balik layar

Kesuksesan eksekusi lahan milik PT CVI tidak terlepas dari kepiawaian pengacara Ahmad Riyadh bersama Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti, yang kini berstatus buron.

Dengan melibatkan Rahmad Santoso, advokat yang merupakan kerabat Sekretaris MA Nurhadi, Riyadh mengantongi surat eksekusi dari Nur Hakim.

Dari penelusuran Media Indonesia, terungkap Nur Hakim meneken surat eksekusi setelah mendapat telepon dari petinggi MA.

Sejak 1993, PT EMKL Pendawa sudah menggugat kepemilikan lahan PT CVI yang telah besertifikat HGB Nomor 30.

PT EMKL Pendawa menggugat PT CVI, BPN Kanwil Jatim, Kantor Pertanahan Surabaya, dan Gubernur Jatim.

Namun, PT EMKL Pendawa tidak pernah menang.

Empat putusan pengadilan seluruhnya menetapkan PT CVI selaku pemilik sah lahan seluas 25.590 meter persegi di Jalan Tanjungsari 73-75.

PT EMKL Pendawa tidak kehabisan akal.

Di saat gugatan terhadap PT CVI berjalan, manuver hukum dilakukan dengan mendaftarkan gugatan lain.

Kali ini yang dibidik bukan PT CVI, melainkan Rachmat Bhakti, anak/ahli waris Moh Wiyono, Ketua Yayasan Pembangunan dan Sosial Jawa Timur.

Berdasarkan sejarahnya, Petok D 292 awalnya milik RM Djoko Sengkolo dan dibeli Moh Wiyono pada 1962.

Sebagai alat bukti, PT EMKL Pendawa menggunakan Petok D 292.

Selanjutnya, lahan itu dibeli PT CVI pada 1991 dan status kepemilikannya ditingkatkan menjadi HGB pada 1993.

Di pengadilan, Petok D 292 atas nama RM Djoko Sengkolo dipakai penggugat tanpa sepengetahuan pengurus Yayasan Pembangunan dan Sosial Jawa Timur.

Gugatan PT EMKL Pendawa terhadap Rachmat Bhakti berjalan mulus.

Pengadilan Negeri Surabaya mengeluarkan putusan langsung (verstek) yang menetapkan PT EMKL Pendawa sebagai pemenang melalui putusan Nomor 191/Pdt.G/2006/PN.Sby.

Penggunaan Petok D 292 oleh PT EMKL Pendawa kemudian digugat lagi ke pengadilan.

Hasilnya, pengadilan memutuskan Petok D 292 menjadi milik Yayasan Pembangunan dan Sosial Jawa Timur melalui putusan Nomor 122/Pdt.G/2007/PN.Sby jo Nomor 259/Pdt/2008/PT.Sby jo Nomor 850K/Pdt/2009, bukan milik PT EMKL Pendawa.

Sengketa semakin seru.

Di tingkat PK, baik PT CVI maupun PT EMKL Pendawa sama-sama mengajukan perlawanan.

Majelis hakim yang menangani kedua kasus PK diketuai hakim ketua yang sama, yaitu Mohammad Saleh.

Putusan terhadap perlawanan yang dilakukan PT CVI dikeluarkan pada 2011.

Dalam putusan PK Nomor 273/PK/Pdt/2011, majelis hakim PK mengalahkan PT CVI.

Putusan terhadap perlawanan yang diajukan PT EMKL Pendawa keluar setahun kemudian.

Majelis hakim PK melalui putusan Nomor 232 PK/PDT/2012 kali ini memenangkan PT CVI.

Dengan keluarnya putusan terakhir, majelis hakim berpendapat objek perkara berupa tanah seluas 25.590 meter persegi berdasarkan sertifikat HGB Nomor 30 di Jalan Tanjungsari 73-75 ialah sah milik PT CVI.

Berdasarkan putusan PK itu, Ketua Muda Perdata MA Atja Sonjadja, melalui surat Nomor 09/Tuada Pdt/2012, memperkuat kepemilikan PT CVI.

Atja Sonjadja mengeluarkan surat itu untuk memberikan kepastian hukum.

Dalam surat tersebut juga ditegaskan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 191/Pdt.G/2006/PN.Sby tidak bisa dikenakan kepada PT CVI.

Namun, fakta di lapangan justru sebaliknya.

Hanya dengan putusan PN 191/Pdt.G/2006/PN.Sby, Ketua PN Surabaya Nur Hakim melakukan eksekusi.

Padahal, dalam putusan PK Nomor 232 PK/PDT/2012 telah dipertimbangkan bahwa putusan PN 191/Pdt.G/2006/PN.Sby dinyatakan majelis hakim bukan bukti yang dapat menentukan dasar kepemilikan tanah Tanjungsari No 73-75.

Konfirmasi kepada Nur Hakim belum berhasil karena yang bersangkutan tidak berada di kantornya.

Telepon seluler Ketua PN Surabaya itu juga tidak aktif. (Sru/Ard/T-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya