Bertahan di Tengah Film dan Sinetron

Nelly Marlianti
03/5/2016 04:45
Bertahan di Tengah Film dan Sinetron
()

MALAM itu ialah malam yang ditunggu beberapa penggemar pentas sandiwara Miss Tjitjih yang tersisa.

Sekitar 200 tempat duduk yang tersedia di gedung pertunjukan yang terletak di kawasan Cempaka Baru Timur, Jakarta Pusat, hanya terisi oleh sekitar 30 penonton.

Para penggemar pertunjukan yang sangat terkenal di era 1920-an itu memang tidak bisa setiap saat menikmati sandiwara tersebut, sebab kini pentas hanya berlangsung dua minggu sekali pada Sabtu malam.

Sebelumnya sempat pentas seminggu sekali, bahkan di era mereka hadir setiap malam.

Penikmat sandiwara legendaris itu sebagian besar penduduk sekitar.

Untuk bisa menikmati pertunjukan yang dimulai pukul 20.15 WIB tersebut, penonton tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam karena harga selembar tiket hanya Rp10 ribu per lembar.

Cerita yang dimainkan grup sandiwara Miss Tjitjih malam itu berjudul Srikandi Cianjur, yang bercerita tentang konflik antara mertua dengan menantu perempuannya yang sehari-hari menjadi penari di salah satu sanggar seni.

Karena cerita yang dimainkan tentang konflik keluarga di Jawa Barat, dialog dalam seluruh pertunjukan dari awal hingga akhir menggunakan bahasa Sunda.

Ketua Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih sekaligus sutradara Imas Darsih mengatakan tidak mudah mempertahankan kelompoknya agar tetap eksis di Jakarta atau sekadar dikenal masyarakat.

Itu antara lain disebabkan kelompok yang personelnya merupakan generasi keempat tersebut tidak mungkin bersaing dengan industri film layar lebar dan tayangan sinetron di televisi yang lebih diminati masyarakat.

"Di era kami sekarang, kesulitan yang dihadapi ialah memang minat masyarakat untuk menonton pementasan kami terus menurun," kata dia, beberapa waktu lalu.

Meski demikian, ia menilai kesulitan yang dialami sekarang tidak seberapa jika dibandingkan dengan yang dihadapi para pendahulunya di masa kolonialisme silam.

Ketika itu kelompok tersebut harus pentas secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, menghadapi tentara penjajah, bahkan menjadi tempat bersembunyi para pejuang.

"Karena tahu perjuangan Miss Tjitjih sangat berat dalam memperkenalkan sandiwara ini, kami terus berusaha bertahan sampai hari ini," ujarnya.

Ia juga bersyukur karena seluruh biaya pementasan, penggunaan gedung pertunjukan, bahkan gaji dan tempat tinggal personel kelompok yang luasnya sekitar 1.000 meter persegi diperoleh dari bantuan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.

Tetap bersemangat

Selain Miss Tjitjih, kelompok pertunjukan lain yang masih eksis ialah wayang orang Bharata.

Grup tersebut hingga sekarang masih bisa pentas setiap Minggu di gedung pertunjukan yang berada di Jalan Kalilio, Jakarta Pusat, atau dekat Terminal Bus Senen, dengan harga tiket Rp40 ribu sampai Rp60 ribu.

Menurut Ketua Paguyuban wayang orang Bharata, Marsam, para pemain di kelompok tersebut saat ini ialah keturunan kelima dari pemain terdahulu.

Meski tidak sempat bubar seperti halnya kelompok wayang orang lainnya, wayang orang Barata sempat vakum pada 1999 hingga 2015 karena renovasi gedung berkapasitas 280 penonton itu.

Setiap kali mereka tampil, rata-rata 60 lembar tiket terjual sehingga para pemain masih bersemangat menghibur sisa penggemar mereka. (J-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya