Pasar Mbah Yono yang makin Sepi

Sri Cahya Lestari
19/4/2016 08:40
Pasar Mbah Yono yang makin Sepi
(MI/ARYA MANGGALA)

YONO, 80, pedagang sembako di Pasar Jelambar Polri, Grogol Pertamburan, Jakarta Barat, hanya tersenyum kecut saat ditanya besarnya keuntungan yang sudah didapat hingga kemarin siang.

"Boro-boro untung, Neng, modal saja belum tentu bisa balik. Enggak ada orang yang belanja ke sini hari ini," keluh kakek yang sudah berjualan di situ sejak 1980-an itu.

Sepinya pembeli, sambungnya, bukan hanya terjadi di hari itu.

"Setiap hari juga sepi, sudah bertahun-tahun begini. Malah sejak 2012, pasar yang biasanya buka sampai sore, sekarang cuma sampai pukul 12.00 WIB. Percuma juga buka sampai sore, enggak ada yang beli," ujar Yono yang siang itu tengah bersiap menutup tokonya.

Ia mengakui pemandangan kumuh dan kotor, serta bau busuk yang ada di pasar itu menjadi penyebab utama malasnya pembeli ke pasar tradisional.

Apalagi, menjamurnya pasar-pasar modern di permukiman masyarakat kian membuat pembeli tak mau lagi melirik tempat yang kerap disebut pasar rakyat itu.

Pengakuan 'Mbah' Yono itu 100% benar. Begitu memasuki pasar yang memiliki sekitar 730 kios dan los (kios terbuka) itu, pembeli akan disambut panas dan pengapnya udara di dalam pasar.

Pembeli dan pedagang yang berulang kali menyeka keringat menjadi pemandangan lumrah di situ.

Pasarnya masih berlantai tanah dan selalu becek meski tak hujan.

Saluran air mampat semua sehingga menimbulkan genangan dan bau.

Itu jika mata melihat ke bawah, bagaimana kalau ke atas?

Kondisi di bagian atas tak kalah menyedihkan. Atap banyak yang bocor dan instalasi kabel listrik semrawut.

"Pasar tradisional memang kalah bersaing dengan pasar modern. Sekarang banyak pasar modern di mana-mana, Pasar Jelambar jadi sepi," kata Yono kembali mengeluh.

Bernasib sama

Jumlah pembeli yang seret sebenarnya juga dialami pasar tradisional yang sudah direvitalisasi.

Contohnya Pasar Kedoya Jaya, Pesing, Kebon Jeruk, dan Jakarta Barat.

Meski pasar itu sudah terlihat kinclong sejak 2012 lalu, jumlah pembelinya masih dapat dihitung dengan jari.

Bayu, pedagang sayuran di pasar itu, mengaku selama empat bulan terakhir omzetnya pasang-surut.

Jika tahun lalu ia bisa menjual sampai 200 kg sayuran per hari, kini ia hanya bisa menjual 100 kg.

"Sekarang paling banyak hanya sampai 150 kg, itu pun kalau mau hari raya. Dulu biasanya per hari saya bisa dapat Rp500 ribu hingga Rp1 juta. Sekarang rata-rata paling hanya Rp500 ribu," ujarnya.

Kondisi pasar yang cantik setelah direvitalisasi itu, sambung Jaya, nyaris mubazir karena banyaknya kios dan los yang kosong. Pedagang lari karena tak mau merugi lebih banyak lagi.

Pembeli setia

Meski seperti hidup enggan mati pun tak mau, pasar tradisional tetap masih punya pembeli setianya.

Mereka rata-rata ialah ibu-ibu berusia di atas 40 tahun.

"Saya masih sering belanja ke pasar tradisional karena di sini lebih murah dan masih bisa ditawar harganya, Neng. Kalau di supermarket, kan harga pas, lebih mahal lagi," ujar Nuri, 40, saat dijumpai di Pasar Jelambar Polri.

Begitu juga dengan Nini Karmani, 40, pembeli lainnya.

Ia mengaku lebih memilih berbelanja di pasar tradisional karena harga barang-barang di pasar tradisional lebih terjangkau jika dibandingkan dengan di supermarket.

"Iya masih lebih murah harganya daripada di supermarket, misalnya untuk harga sembako, sayuran, dan bumbu dapur, lebih murah di sini," ujar Nini.

Namun, diakuinya, kondisi pasar tradisional yang kumuh kerap membuatnya tak mau berlama-lama di pasar. (J-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya