Petugas Dinsos Terima Setoran

Selamat Saragih
29/3/2016 04:10
Petugas Dinsos Terima Setoran
(MI/USMAN ISKANDAR)

GUBERNUR DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, menilai maraknya kasus eksploitasi anak bukan disebabkan kurangnya sumber daya manusia di Dinas Sosial, melainkan mental SDM instansi itu yang harus diperbaiki.

Masalah mental yang dimaksud Ahok ialah adanya praktik kongkalikong antara petugas Dinas Sosial (Dinsos) DKI dengan pelaku eksploitasi dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).

Akibatnya, pemberantasan masalah eksploitasi anak di Ibu Kota menjadi sulit.

Ia menyebutkan petugas antara lain meminta setoran kepada pengemis sehingga setelah ditertibkan, mereka dilepaskan lagi.

"Kita lagi mau lihat (SDM Dinsos), mau perbaiki yang soal sosial ini," katanya di Balai Kota, kemarin.

Ahok bahkan menyebut praktik kongkalikong antara petugas Dinsos dan pelaku eksploitasi serupa dengan praktik yang terjadi di sektor transportasi.

Pelanggar berani mengulang kesalahan meski di depan petugas.

"Angkot masih berani ngetem, padahal ada petugas?" ucapnya.

Untuk memperbaiki mental SDM petugas Dinsos, Ahok meminta pengamat dan aktivis untuk memberikan kontribusi dengan melaporkan petugas Dinsos yang berani kongkalikong kepadanya.

Menurut Gubernur, kontribusi masyarakat akan membantunya dalam memperbaiki mental SDM Dinsos.

Bahkan, ia berjanji akan memecat petugas itu.

"Kasih tahu saya saja namanya (petugas Dinsos). Saya urusin. Kalau di lapangan ada yang bermain, laporkan kepada saya. Nanti saya pecat. Kita sudah punya clue. Warga harus bantu lapor. Kalau ada permainan, laporkan saja," sambungnya.

Ia juga mengungkapkan, untuk mengatasi masalah eksploitasi anak dan PMKS, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) No 8/2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum).

Namun, Ahok menilai perda itu hanya sebagai macan kertas, alias mandul.

Peraturan itu tidak bisa menjerat mereka.

Justru sebaliknya, mereka semakin mudah ditemui di setiap sudut Jakarta.

"Kita paling jago bikin peraturan, tapi hasilnya di lapangan nihil," ujarnya.

Perda Tibum, kata Ahok, sulit diterapkan, terutama terhadap masyarakat yang memberikan uang kepada PMKS.

Bahkan, sanksi maksimum yang diatur dalam perda itu tidak bisa diterapkan lantaran bukti foto aktivitas pelaku di lapangan tidak bisa digunakan hakim dalam persidangan untuk menjatuhkan hukuman maksimal.

"Kami hanya bisa mengimbau (agar tidak mengemis dan menjadi PMKS). Kalau pun mereka kita tangkap, belum semua lokasi terpantau oleh kamera (CCTV) yang bisa menjadi bukti (aktivitas PMKS). Sementara itu, petugas di lapangan masih banyak yang main," katanya.

Hidup mewah

Terkait dengan adanya orangtua yang mengekploitasi anak mereka, ia menyebutkan mereka melakukan itu bukan untuk sekadar mencari makan, melainkan untuk memenuhi gaya hidup hedonisme.

"Orangtua memanfaatkan anak-anak (dan hasilnya) buat beli handphone, pulsa, nongkrong di mal, minimarket," ujarnya lagi.

Jika para pengemis meminta-minta untuk mencari makan, tambah Gubernur, Pemerintah Provinsi DKI siap memelihara mereka.

Namun, di Ibu Kota hampir tidak ada pengemis yang mencari uang dengan tujuan untuk makan.

Untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak kurang mampu di Ibu Kota, ujarnya, Pemprov DKI berencana membangun sekolah dan panti untuk ribuan anak.

Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Audie Latuheru, menyatakan pelaku eksploitasi anak-anak yang kini berada di polres itu setiap hari rata-rata memperoleh penghasilan Rp200 ribu.

Mereka mempekerjakan anak-anak sebagai pengamen, pengemis, dan joki 3 in 1.

"Kalau mereka melakukan sendiri (tanpa melibatkan anak-anak), pendapatan hanya Rp50 ribu per hari," kata Audie di Kantor Polres Jakarta Selatan. (Nel/MTVN/J-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya