Lebih Takut Telat Ketimbang Pilih Selamat

Nelly Marlianti
21/3/2016 00:50
Lebih Takut Telat Ketimbang Pilih Selamat
(MI/PANCA SYURKANI)

UPAYA mengejar ketepatan waktu dalam hiruk pikuknya Ibu Kota kerap kali membuat warga Jakarta dengan sadar melakukan berbagai pelanggaran.

Melanggar lampu merah atau berdiri di depan garis kuning saat menunggu kedatangan kereta commuter line di peron menjadi contoh sehari-hari perilaku warga yang dengan sadar melanggar aturan.

Para pelanggar itu sejatinya juga sadar bahwa yang dilakukannya itu berisiko besar terhadap keselamatannya.

"Harus diakui kesadaran masyarakat Jakarta akan keselamatan dan keamanan diri masih rendah. Masyarakat masih suka memandang sepele pelanggaran itu. Padahal bisa berakibat fatal jika aturan itu dilanggar," papar sosiolog dari Universitas Indonesia Ricardi S Adnan, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, keputusan untuk melanggar itu diambil secara sadar oleh warga.

Apalagi jika mengejar waktu dijadikan alasan.

Misalnya para pekerja yang akan melakukan segala upaya agar tidak terlambat datang ke kantor.

"Lebih baik melanggar aturan di jalan daripada mendapat teguran atau sanksi dari kantor mereka. Mereka memang tidak membuat pilihan-pilihan bijak untuk keselamatan diri mereka sendiri. Mereka memilih melanggar aturan yang dalam penilaian mereka lebih kecil daripada melanggar yang lebih besar," tutur Ricardi.

Ia mencontohkan perilaku pengendara sepeda motor yang suka nekat menerobos lampu merah. Itu karena risiko apesnya hanya 20%, yang artinya dari 100 pengendara yang menerobos lampu merah, hanya satu atau dua orang yang celaka.

"Mereka lebih takut dengan risiko yang lebih besar lagi, yakni terlambat sampai ke tempat kerja karena bisa langsung ditegur atasan mereka, atau kehilangan kesempatan dalam bekerja," ujar Ricardi.

Meski keselamatan diri ditaruh di nomor sekian, sambungnya, dalam sejumlah hal, masyarakat Jakarta justru menunjukkan kematangan dalam hal ketertiban.

Ia mencontohkan perilaku para pengguna transportasi publik yang mulai tertib mengantre.

Layanan setengah hati

Rendahnya kesadaran akan keselamatan itu diakui oleh Ninis, 26, seorang pekerja kantoran di bilangan Slipi, Jakarta Barat.

Setiap pagi, ia menggunakan jasa bus Trans-Jakarta menuju tempat kerjanya.

Meski kondisi bus sudah penuh, ia mengaku tetap memaksakan diri masuk ke bus agar tak telat sampai di kantor.

Alhasil, ia kerap berdiri melewati garis kuning.

Badannya berdiri menempel dengan pintu bus yang fungsinya buka-tutup di setiap halte.

"Ya harus begitu, kalau tidak, mau jam berapa sampai kantor? Lagi pula, apa ada Trans-Jakarta yang kosong kalau pagi?" sanggahnya.

Ia menambahkan, waktu kedatangan antarbus Trans-Jakarta kini sangat jauh.

Bisa sampai 30 menit. Jika bus pertama sudah terlewat, ia harus menunggu setengah jam untuk bus berikutnya.

"Apa setiap hari saya harus mengorbankan datang telat ke kantor demi keselamatan diri?" kembali Ninis bertanya.

Menurutnya, kesadaran masyarakat akan keselamatan diri baru akan muncul jika pemerintah DKI Jakarta menyediakan transportasi publik yang memadai.

"Armada busnya harus diperbanyak, terutama di jam sibuk, sehingga jarak antarbus tidak terlalu jauh. Dan yang paling penting, busway harus benar-benar steril dari kendaraan pribadi," tutupnya.

(J-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya