Kasus Penjualan Kondensat Menyasar Sesjen Kemenkeu

Ardhy Dinata Sitepu/Sry Utami
18/1/2016 11:51
Kasus Penjualan Kondensat Menyasar Sesjen Kemenkeu
(MI/M Irfan)

PENYIDIK Badan Reserse Kriminal Polri sudah mendapatkan alat bukti atas kerugian negara sebesar US$149 juta atau sekitar Rp2 triliun dalam penjualan kondesat selama 2009-2013.

Berdasarkan alat bukti tersebut, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan tiga tersangka. Mereka ialah mantan Direktur Utama PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Honggo Wendratmo, mantan Kepala BP Migas Raden Priyono, serta mantan Deputi Finansial Ekonomi & Pemasaran BP Migas Djoko Harsono.

Ketiganya dituduh melanggar keputusan Kepala SKK Migas Nomor KPTS-20/BP0000/2003-SO tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-SO tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara.

Meski kerugian negara sangat besar dan bukti sudah cukup, Bareskrim Polri tidak menahan ketiga tersangka. Karena tidak dicekal, Honggo Wendratmo bebas berpergian ke luar negeri. Saat ini, Honggo berada di Singapura dengan alasan berobat.

Ketika dimintai konfirmasi terkait keberadaan Honggo, Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Agung Setya mengatakan pihaknya sudah memanggil. "Tetapi tersangka masih dalam tahap pemulihan," cetusnya, pekan lalu.

Bareskrim Polri menjadikan Honggo serta dua mantan pejabat BP Migas sebagai tersangka tindak pidana yang menimbulkan kerugian negara sedikitnya Rp2 triliun. "TPPI mengambil hak negara dan dijual. Mereka beralasan kontrak berlaku surut. Padahal tidak ada kontrak berlaku surut," terangnya.

Selain ketiga tersangka, polisi sedang menyasar sejumlah pejabat aktif. Salah satunya, Sekretaris Jenderal Kementrian Keuangan Hadiyanto.

Hadiyanto yang menjabat Dirjen Kekayaan Negara selama 10 tahun diduga mengetahui adanya penyimpangan bahkan berperan penting dalam memuluskan penjualan kondensat.

"Posisinya (Hadiyanto) sangat strategis dan kami sudah memeriksa 65 saksi. Dia (Hadiyanto) sudah diperiksa tiga kali. Kami sedang mencari bukti mengapa Hadiyanto membiarkan kerugiaan negara yang demikian besar. Kami masih menunggu rinciannya dari BPK," urainya.

Anggota VII BPK Achsanul Qosasi sependapat bahwa kecil kemungkinan Hadiyanto selaku Dirjen Kekayaan Negara tidak mengetahui larinya uang senilai Rp2 triliun tersebut. "Namun, itu ranah kepolisian yang harus membuktikan," imbuhnya.

BPK melambat
Peran Hadiyanto akan terlihat bila BPK sudah menuntaskan audit investigasi Laporan Kerugian Negara (LKN). Pada Agustus 2015, BPK mengungkapkan audit investigasi LKN kondesat sudah rampung 70%. LKN diperhitungkan tuntas tiga bulan kemudian. Ternyata hingga minggu kedua Januari 2016, laporan tak kunjung selesai.

Pengamat masalah energi dan perminyakan Marwan Batubara meyakini ada orang besar yang melindungi Hadiyanto sehingga statusnya tetap saksi. Orang besar itu juga yang diduga memengaruhi penyidik maupun BPK agar melambat.

"Dia (Hadiyanto) sebagai salah satu penanggung jawab yang mewakili pemerintah seharusnya bisa melindungi kepentingan negara. Saya kira Hadiyanto ada yang melindungi," papar Marwan.

Direktur Utama Indonesia Resources Studies itu juga mengungkapkan para tersangka sudah berkali-kali menyebut nama Hadiyanto sebagai pihak paling bertanggung jawab.

"Peran Hadiyanto sangat vital. Selain sebagai pengawas anggaran keuangan pada perusahaan negara, saat itu dia juga menjabat Komisaris PT Tuban Petrohemical Indonesia (TPI) yang merupakan induk perusahaan PT TPPI," cetusnya.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan juga mencurigai ada orang besar maupun pemain besar di balik skandal tersebut yang berusaha melindungi Hadiyanto. "Sebagai Dirjen Kekayaan Negara watu itu, perannya sangat penting dalam memutuskan izin pengelolaan kondensat kepada PT TPPI," terangnya.

Pada era BP Migas, lanjut Mamit, pengelolaan keuangan dipegang Kemenkeu. "Berdasarkan pengakuan teman-teman di eks BP Migas, Hadiyanto tak segan-segan mengancam berupa menghambat pencairan anggaran bila tidak kemauannya tidak dituruti. BP Migas mengetahui PT TPPI tidak sehat, tapi tidak bisa menolak," tandasnya.

Hadiyanto menduduki posisi Dirjen Kekayaan Negara selama 10 tahun, sejak 1 Juli 2005 dan mendapat promosi menjadi Sekretaris Jenderal Kemenkeu pada 1 Juli 2015 dan dikenal sebagai orang SBY.

Ketika Media Indonesia meminta konfirmasi atas tuduhan terhadapnya dalam skandal korupsi kondensat, Hadiyanto memilih bungkam. Tak satu pun dia berkenan menjawab pertanyaan.

Media Indonesia kembali mencoba menghubungi Hadiyanto melalui surat elektronik sespri.pres6@gmail.com dan mendapat jawaban, 'Bapak tidak bersedia menjawab'.

Menkeu Bambang Brodjonegoro saat dihubungi terpisah malah mengaku tidak tahu-menahu. "Enggak tahu saya tuh, kasus kondensat baru dengar," tukasnya sambil bergegas pergi. (T-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya