Fakta Pungli Nelayan Pulau Pari Meragukan

Deni Aryanto
13/6/2017 10:30
Fakta Pungli Nelayan Pulau Pari Meragukan
(DOK MI/ATET DWI PRAMADIA)

TERDAKWA Mustaghfirin alias Bobby, Mastono alias Baok, serta Bachrudin alias Edo, diseret ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan dakwaan melakukan pungutan liar senilai Rp5.000 kepada wisatawan.

Koordinator Tim Hukum Selamatkan Pulau Pari Tigor Hutapea, saat membacakan pembelaan terhadap ketiga terdakwa, kemarin, menyatakan dakwaan kutipan pungli tidak mendasar.

Pengelolaan Pantai Perawan di Pulau Pari oleh warga sudah melalui izin dari aparatur daerah setempat.

Pada 2010, pihak Kecamatan Pulau Seribu Selatan mengizinkan warga setempat mengelola Pantai Perawan.

Saat itu, ekonomi masyarakat tengah memburuk akibat budi daya rumput laut merugi.

Kebetulan pemerintah ataupun pihak swasta belum ada yang terlibat pengelolaan lahan.

"Waktu itu warga dipersilakan mengelola pantai dengan tujuan membantu meningkatkan kesejahteraan warga setempat. Hingga dibukalah lokasi wisata melalui swadaya warga," jelasnya.

Dari situ, wisata rakyat dibuka seperti halnya Pulau Tidung.

Warga membersihkan semak belukar di Pulau Perawan.

Di samping itu, jasa travel, penginapan, serta pusat kerajinan tangan dikelola secara gotong royong.

Untuk pengelolaan kawasan dan penataan infrastruktur, warga setempat bersepakat menarik retribusi sebesar Rp5.000 terhadap wisatawan yang datang.

"Jadi kutipan Rp5.000 itu sudah melalui kesepakatan bersama untuk biaya kebersihan. Dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum tidak memenuhi syarat materiil dan tidak lengkap," ketus Tigor.

Penasihat hukum berpandangan kasus tersebut merupakan bentuk kriminalisasi.

Di saat bersamaan, tengah terjadi sengketa antara warga Pulau Pari dan PT Bumiraya Griyanusa yang belakangan mengklaim sebagai pemilik 90% lahan pulau.

Tangan besi

Pada 2015, perusahaan mulai mempersoalkan status lahan Pulau Pari.

Mereka berencana membangun resor dan mengelola Pulau Perawan.

Tangan besi digunakan untuk menjauhkan warga dari lahan yang diklaim perusahaan milik taipan Pintarso Adijanto itu.

Yang pertama kena getahnya adalah Edi Priadi, 62, yang dipidanakan karena sang nelayan masuk ke lahan milik perusahaan.

Klaim perusahaan dinilai sepihak oleh warga yang sudah turun temurun tinggal di kepulauan itu.

Pada persidangan pekan lalu, jaksa penuntut umum mendakwa ketiga nelayan melakukan pungli yang berarti melanggar Pasal 368 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman paling sedikit sembilan tahun penjara.

Dakwaan itu disanggah pengacara terdakwa, sebab jaksa tidak mampu merumuskan bagaimana, kapan, dan mengapa terdakwa melakukan pungli.

Bagi terdakwa, Pantai Perawan belum masuk kawasan retribusi pemerintah daerah sesuai dengan peraturan daerah.

Objek retribusi adalah lokasi yang dikelola pemerintah.

"Hingga saat ini, Pantai Pasir Perawan belum ditetapkan sebagai objek retribusi sehingga pengelolaan bisa dilakukan pihak swasta atau warga,"tandasnya.

PT Bumiraya Griyanusa belum pernah menunjukkan bukti kepemilikan lahan kepada warga.

Namun, sejumlah bentuk intimidasi dilakukan supaya warga meninggalkan rumah mereka yang berdiri di atas area sengketa.

"Tenaga keamanan mereka (PT Bumiraya Griyanusa) beberapa kali datang ke rumah warga. Mereka mengancam pemilik tanah akan mengosongkan paksa rumah warga. Sebagian warga sudah memiliki girik, tapi sekitar 1990, ditarik kelurahan dengan alasan mau ada pemutihan," papar Tigor. (J-2)




Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya