Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
DENGAN diterangi pencahayaan lampu lampion merah khas 'Negeri Tirai Bambu', Jackson, 22, tampak asyik bercengkerama dengan dua kawannya di teras sebuah bangunan bernomor 87-89 di Jalan Lautze, Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Saat Ramadan, selepas salat Magrib, mereka dan beberapa kumpulan lain di sana tengah menunggu waktu salat Tarawih.
Bangunan berdinding kuning, berpintu merah dengan paduan lis hijau tempat mereka berada, ternyata sebuah masjid.
Masjid Lautze, begitu ia disebut, tidak memiliki gaya bangunan seperti kebanyakan masjid di Indonesia.
Ia tak jauh beda dengan deretan ruko di sekitarnya, membaur dengan bangunan yang mendominasi di jalanan yang termasuk kawasan pecinan itu.
Sekilas, nama Lautze tampak merujuk pada ahli filsafat pendiri Taoisme yang hidup sekitar abad ke-6 Masehi, Laozi.
Namun, sebetulnya nama itu diambil dari nama jalan tempat masjid itu berada.
Masjid itu didirikan pada 1991 oleh Karim Oei Tjeng Hien (1905-1988).
Pada tahun yang sama, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada waktu itu, BJ Habibie, meresmikannya.
Selain sebagai pendiri masjid, Karim Oei merupakan seorang tokoh muslim Indonesia keturunan Tionghoa yang juga pendiri Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Namanya pun diabadikan sebagai nama yayasan.
Karim juga sangat dekat dengan Bung Karno dan Buya Hamka, aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dalam sebuah foto yang terpajang di kantor yayasan itu, tampak mereka sedang berada di rumah pengasingan Soekarno di Bengkulu.
"Kita orang Indonesia Tionghoa yang mau beragama Islam, bebas dalam pilihan kita dan pemerintah kita memang mendukung kita berdakwah sambil mengekspresi kebudayaan," ujar Muhammad Ali Karim, 68, pengurus Yayasan Haji Karim Oei yang mengelola Masjid Lautze, kepada Media Indonesia, pekan lalu.
Ia merupakan anak Karim Oei.
Masjid Lautze memilih menampilkan ekspresi kebudayaan dalam sintesis budaya Tionghoa dan Islam.
Meski ornamen seperti lampion dan nuansa kuning-merah khas Tionghoa kental menghiasi, warna hijau yang kerap diasosiasikan dengan Islam tetap muncul di sana.
Hanya ada spanduk dan plakat yang menunjukkan bangunan itu ialah sebuah mesjid.
Ketika orang masuk ke area ibadah, tampak sejumlah kaligrafi tergantung di dinding. Sebagian besar kaligrafi ditulis dwibahasa, bahasa Arab dan Hanzi--aksara dalam Mandarin.
Moch Indra Purnama, pengamat sejarah dari Universitas Negeri Jakarta, melihat sintesis budaya pada Masjid Laotze sangat menarik sekaligus penting.
Dalam sejarah Tionghoa di Indonesia, menurut Indra, tidak semua orang Tiongkok menjadi muslim secara mualaf.
Merunut sejarah pelayaran Zheng He, atau sering dilafalkan Cheng Ho (1371-1435), tak hanya Arab dan Gujarat yang berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Penjelajah dan laksamana asal Nanjing, Tiongkok, itu sudah muslim sejak lahir.
"Sekarang kita seolah-olah lihat Islam dan Tionghoa sesuatu yang terpisah, padahal dari sisi sejarah bahkan orang-orang Tionghoa itu berkontribusi besar dalam penyebaran Islam," ujar peneliti di bidang perkembangan teknologi dalam sejarah peradaban tersebut kepada Media Indonesia.
Di Batavia--yang sebelumnya disebut Sunda Kelapa, para pakar sejarah masih meneliti kebenaran jejak laksamana Zheng He.
Indra menuturkan, Zheng He itu sebagai seorang muslim sinkretis dan sangat toleran.
Dia tidak membangunkan masjid secara eksklusif hanya untuk muslim, tetapi untuk tempat ibadah bagi siapa pun yang mau berdoa kepada Tuhan.
"Sama seperti di Palembang, Bangka, Semarang, dan banyak daerah lainnya yang pernah disinggahi Zheng He, dia membangun masjid juga di sana, diduga dibangun di dekat kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa," ujarnya.
Sintesis nan harmonis
Bagi Ali Karim, keberadaan Tionghoa muslim jauh lebih dulu ada ketimbang sekadar hasil sintesis yang berkembang belakangan di masyarakat.
Dia percaya, tidak banyak orang Indonesia yang tahu bahwa usia Masjid Xi An di Tiongkok lebih tua daripada masjid tertua di Indonesia, yakni Masjid Demak.
"Masjid Demak sekitar 650 tahun. Masjid Xi An menginjak usia ke-1.350 tahun. Itu artinya di Tiongkok Islam telah lebih dulu masuk. Jadi, ketika kita sudah satu Islam, tidak ada lagi yang harus diperdebatkan seperti sekarang," tutur Ali.
Sementara itu, Indra Purnama menilai sintesis budaya Tionghoa dan Islam yang ditampilkan di masjid itu penting karena bisa menginspirasi etnis lain untuk menghidupkan kembali local wisdom dan local expression dalam agama.
"Justru tidak perlu dilepas dari budaya Tionghoa. Masjid Lautze sangat bagus karena mereka mau menunjukkan identitas etnis mereka. Karena sebetulnya muslim di Indonesia juga bukan homogen," paparnya. (*/J-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved