Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Di awal abad ke-18, setiap sore puluhan perahu kayu bersandar di sebuah langgar (tempat salat) tepian Kali Angke, Batavia (kini Jakarta Barat). Musik hadrah mengiringi syair puja-puji kepada Allah SWT terdengar dari lantai dua langgar tersebut.
Mereka menyambut para pedagang yang baru saja tiba dari kulon (Serang, Tangerang) menyusur Kali Cisadane masuk ke Kali Angke dengan perahu. Rempah-rempah, buah nangka, kelapa, duren, pisang, dan sebagainya dibawa pedagang itu untuk dijual di Kota, kawasan pecinan Glodok.
“Mereka (pedagang) rata-rata keturunan Tionghoa,” kata Ahmad Assegaff, 59, pengelola langgar saat ditemui, akhir pekan lalu.
Langgar itu dijadikan tempat peristirahatan dan tempat salat para pedagang sebelum ke Kota keesokan paginya. Pedagang juga menggelar barang bawaannya untuk dijual ke warga sekitar langgar yang mayoritas orang Arab.
“Dulu sistemnya barter, ditukar pakai minyak wangi, sorban, sarung di sini (langgar). Warga ramai datang,” kenang Ahmad.
Langgar itu kini dikenal dengan Masjid Langgar Tinggi, di Jalan Pekojan Raya, Kelurahan Pekojan, Jakarta Barat. Dibangun pada 1833 atau 1249 Hijriah menjadikannya sebagai salah satu masjid tua di Jakarta.
Luas masjid sekitar 8x24 meter, memiliki dua lantai. Di lantai satu terdapat empat ruang yang saat ini dijadikan tempat berjualan minyak wangi dan tasbih.
“Dulu ruang-ruang itu dijadikan tempat menginap para pedagang dari kulon itu,” ujar Ahmad.
Lantai dua dijadikan tempat salat. Terdapat lima jendela sisi kiri dan dua jendela sisi kanan. Kayu-kayu pada sisi atap di lantai dua masih ada cantelan berbahan besi melingkar, di situ dulunya lampion-lampion diikat saat acara mauludan atau peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Adolf Heuken SJ dalam bukunya, Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta, menyebut Langgar Tinggi dibangun dengan unsur arsitektur Eropa (pilar-pilar klasisistis menurut orde Toskan), Tionghoa (penyangga balok) dan Jawa (denah dasar). Langgar didirikan di salah satu tanah wakaf Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi.
Harmonis
Dari cerita pendahulunya, Ahmad menyebut warga sekitar langgar yang mayoritas muslim begitu harmonis dengan kampung pecinan yang berada di seberangnya. Jaraknya hanya terpisah Kali Angke.
Saat Ramadan, warga pecinan membawa kue-kue untuk warga muslim, sementara saat perayaan Cap Go Meh warga muslim memberikan jeruk bali ke warga Kampung Pecinan.
“Ada juga beberapa yang warga muslim berebut pesta angpau di tepi kali, ada juga yang nontonin sambil rebahan (tiduran) di langgar,” ujarnya.
Sekitar 50 meter dari Langgar Tinggi terdapat masjid tua lainnya, yakni Masjid An Nawier yang didirikan pada 1760. Ada berapa masjid tua lainnya di sana. Umumnya merupakan peninggalan warga keturunan Hadramaut (Yaman), Arab, dan India, yang banyak tinggal di kawasan itu.
Menurut Heuken, sejak 1633, daerah Pekojan sudah dihuni orang-orang Moor atau pedagang dari India. Mereka aktif menyiarkan agama Islam di Batavia dan pesisir utara Jawa.
Budaya yang berbeda tidak membuat hambatan. Salah satu contohnya ialah di dalam Masjid An Nawier, terdapat 33 tiang berdiri kukuh di sana. Tiang-tiang tersebut diartikan sama dengan jumlah bacaan tahlil, tahmid sebanyak 33 kali yang dibaca seusai salat lima waktu. Ornamen khas Tiongkok menempel di pintu-pintu masjid, mewakili budaya Tionghoa dan bentuk konstruksi daun jendela beraksen Jawa. Kombinasi tersebut memang disengaja.
Corak dan bangunan masjid juga terpengaruh dari sisi arsitekturnya. Saat Islam masuk ke Pulau Jawa melalui pantai utara, masjid tidak dibangun dengan arsitektur baru, tetapi dengan kombinasi.
Gaya bangunan dibuat menyerupai atau lazim ditemui pada masa itu sehingga tak asing bagi penduduk setempat. Hal itu supaya masyarakat tak merasakan peralihan kebudayaan dengan masuknya Islam. (J-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved