Hakim Dinilai Menerapkan Standar Ganda Pada Kasus Ahok

MIOL/RO
09/5/2017 14:04
Hakim Dinilai Menerapkan Standar Ganda Pada Kasus Ahok
(MI/RAMDANI)

VONIS dua tahun penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait kasus penodaan agama ditanggapi beragam oleh masyarakat.

Ketua SETARA Institut Hendardi dalam keterangan persnya mengatakan bahwa hakim tampak menerapkan standar ganda dalam mempertimbangkan konteks peristiwa hukum itu. "Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang diakibatkan oleh ucapan Basuki tapi di sisi lain, hakim a historis dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan Basuki dan pelaporannya oleh kelompok masyarakat," ujar Hendardi.

Selain itu, Hendardi melihat betapa politisasi identitas dan peristiwa hukum itu dijadikan alat penundukkan yang efektif untuk memenangi sebuah kontestasi. Ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek non hukum inilah, ujarnya, yang membuat putusan PN Jakarta Utara mempertegas adanya trial by mob.

"Kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Basuki," ucapnya.

Vonis 2 tahun penjara untuk Ahok merupakan kasus penodaan agama ke 97 yang terjadi sepanjang 1965-2017. Sebagai sebuah mekanisme demokrasi, imbuh Hendardi, putusan PN Jakarta Utara haruslah dihormati.

"Akan tetapi harus pula diakui bahwa majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Ahok. Vonis itu mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukkan bagi siapapun dan untuk kepentingan apapun," ujarnya.

Dia menjelaskan, dari 97 kasus yang pernah terjadi, 89 kasus terjadi pasca 1998. Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal 156a KUHP.

Hendardi menyebutkan vonis terhadap Ahok di luar kelaziman, karena hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan JPU. Karena JPU gagal membuktikan dakwaan primer Pasal 156a, maka JPU hanya menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP.

Meskipun tidak lazim, secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam UU. Namun demikian, ujarnya, kemerdekaan hakim semestinya haruslah sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan.

"Kualitas peristiwa hukum yang menimpa Ahok dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang, semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Ahok atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan JPU," pungkas dia.(OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya