Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
KETIKA mulai dikuasai pemerintah kolonial pada 1619, Jayakarta masih dikelilingi rawa-rawa. Kanal-kanal pun awalnya dibangun untuk memperlancar aliran sungai ke laut sekaligus sebagai jalur lintas perdagangan.
“Kanal lebih untuk pelayaran, fungsi parkir air, dan tempat berlabuhnya kapal. Jadi barang-barang diambil dari pinggir Batavia dan dikumpulkan di (Pelabuhan) Sunda Kelapa,” ujar sejarawan Restu Gunawan.
Kanal-kanal itu dibangun membelah Batavia dari selatan ke utara, paling banyak di sekitar Kota Lama (Kota Tua) yang menjadi pusat pemerintahan saat itu. Molenvliet, salah satu kanal yang berperan vital pun, terletak di sana--membelah Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk mulai Harmoni sampai Kota Tua.
Dalam buku Hikayat Jakarta yang ditulisnya, Willard A Hanna, warga Amerika Serikat yang lama tinggal di Jakarta, menuturkan, “Kanal Molenvliet merupakan jalan air yang dilewati rakit-rakit bambu penuh dengan barang-barang pekerja maupun perdagangan. Saat melintas, rakit harus berjalan dengan hati-hati karena aliran kanal juga digunakan masyarakat untuk mandi dan mencuci.”
Saat itu, masalah banjir belum dirasakan pemerintah Hindia Belanda karena penduduk masih sedikit sehingga, menurut Restu, pada awalnya kanal-kanal itu tidak ada hubungannya dengan banjir.
Ketika banjir datang
Pada 1830, wilayah bagian selatan Batavia mulai dieksploitasi tanaman industri. Jakarta pun mulai dilanda banjir sejak 1872. Belanda sejak dini sudah berhitung bahwa daerah resapan air akan berkurang. Proyek pengendali banjir pun mulai diseriusi, yang pertama ialah pengerukan aliran Sungai Krukut. Meski begitu, banjir masih terus terjadi. Menurut Restu, siklus banjir besar lima tahunan sudah berlangsung pada waktu itu.
Pada 1918, Belanda selesai membangun kawasan permukiman yang lebih bagus dan sehat, khusus bagi golongan orang Eropa, di Menteng, Jakarta Pusat. Untuk mengantisipasi banjir melanda permukiman elite itu, pemerintah kolonial Belanda membangun Kanal Manggarai lengkap dengan pintu air.
“Menjadi fenomenal pembangunan Kanal Manggarai dan Cengkareng, kemudian di Cakung. Itu sebenarnya untuk mengganti bangunan Kanal Barat yang belum terselesaikan. Di situ komplikasinya banyak, di situ banyak permukiman-permukiman elite,” terang Restu.
Mengutip Herman Van Breen--arsitek Belanda yang merancang Kanal Banjir Barat (KBB), Restu mengutarakan keberadaan KBB dan pintu air Manggarai sebetulnya hanya mengalihkan banjir ke wilayah lebih rendah. Bila sebelumnya limpahan air menggenangi Weltevreden terutama kawasan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tadi, air justru mengalir ke tempat lebih rendah seperti Manggarai dan Jatinegara.
“Jadi sebenarnya pintu air Manggarai fungsinya bukan seperti sekarang untuk pengukur ketinggian air. Justru membelokkan air supaya tidak ke Menteng,” kata Restu.
Prediksi Herman rupanya benar. Banjir hebat di Manggarai dan Jatinegara pertama kali tercatat dalam majalah Bintang Hindia (De Maleisce Revue) edisi 17 Februari, Tahun II, Nomor 7 pada 1923. (DA/J-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved