Situasi HAM Indonesia akan Dievaluasi PBB

Micom
02/4/2017 18:26
Situasi HAM Indonesia akan Dievaluasi PBB
(ANTARA/OIC-ES2016/M Agung Rajasa)

KELOMPOK pegiat Hak Asasi Manusia, Human Rights Working Group (HRWG) mengapresiasi keterbukaan Pemerintah Indonesia untuk dilakukan pratinjau oleh Dewan HAM PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) pada 3 Mei 2017 mendatang. Hal itu disampaikan oleh Dirjen Multilateral Kementerian Luar Negeri Hasan Kleib, beberapa waktu lalu.

Mekanisme UPR merupakan mekanisme regular yang dilaksanakan empat tahunan, dimulai sejak 2008 dan diteruskan pada 2012. Dengan demikian, pratinjau 2017 ini merupakan kali ketiga Indonesia ikut dalam evaluasi universal tersebut.

UPR adalah mekanisme unik, menggambarkan kesetaraan semua negara di dunia, karena 193 negara PBB di-review oleh anggota PBB yang lain tentang sejauh mana HAM dijalankan di level nasional. Maka dari itu, mekanisme ini merupakan mekanisme yang seharusnya disikapi secara dewasa oleh pemerintah dan publik di Indonesia sebagai bagian dari reformasi PBB yang seringkali memosisikan negara-negara berkembang secara timpang.

Artinya, dalam iklim kesetaraan dan demokratis, Indonesia juga dapat mengevaluasi dan berkomentar terhadap situasi HAM di negara-negara lain ketika mereka dipratinjau di dalam UPR.

Indonesia ialah salah satu negara yang sejak awal telah memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan mekanisme UPR ini, yang mana partisipasi masyarakat sipil diperkuat, bersedia secara sukarela pada 2008 untuk di-review untuk pertama kalinya, serta terlibat dalam perumusan prosedur UPR sejak Dewan HAM masih menjadi Komisi HAM.

"Dengan prestasi ini, HRWG memandang penting bagi Pemerintah Indonesia saat ini untuk terlibat aktif dan mendukung UPR pada 3 Mei 2017 mendatang, di antaranya adalah dengan bersikap jujur dan berani mengungkap tantangan dan kendala penegakan HAM yang ada di Indonesia," ujar Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif HRWG, melalui keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (2/4).

Menurut dia, dalam skema yang demokratis dan terbuka saat ini, sangat sulit untuk menutup-nutupi kondisi yang terjadi di setiap negara. Maka itu, menutup-nutupi situasi yang sebenarnya justru akan meletakkan pemerintah pada posisi defensif dan tidak jujur. Bila demikian, hal itu tentu tidak baik bagi posisi Indonesia sendiri di hadapan negara-negara lain.

"Ada beberapa isu yang akan nampak signifikan dalam Sidang UPR nantinya mengingat sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada periode 2012 hingga 2017. Kasus-kasus tersebut tentu akan menjadi perhatian negara-negara, apalagi bila penyelesaiannya belum nampak nyata. Di antara isu-isu yang potensial muncul adalah terkait dengan eksekusi mati yang terus dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia, kasus kebebasan beragama yang hingga sekarang belum selesai dan terlunta-lunta, Gafatar yang terusir dari Menpawah, dan kriminalisasi terhadap penganutnya, hak-hak disabilitas, terutama layanan kesehatan, pasung dan perempuan disabilitas, masyarakat adat, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, dan pelanggaran HAM, dan akses jurnalis di Papua," imbuh Hafiz.


Terhadap isu-isu tersebut, HRWG mengharapkan pemerintah telah menyiapkan jawaban yang valid dan kredibel, termasuk upaya dan komitmen yang sedang dilakukan. Jawaban Pemerintah akan menjadi catatan bagi masyarakat sipil dan komunitas internasional, sehingga jawaban yang defensif justru akan memperburuk citra Indonesia itu sendiri.

Apalagi, terhadap isu-isu tersebut, masyarakat sipil Indonesia telah menyampaikan laporannya pada September 2016 yang lalu dan komunitas internasional telah memiliki cukup bahan untuk berdialog dengan pemerintah secara kritis. (RO/OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya