Politik Bebas Aktif Tetap Relevan bagi RI

(Hym/I-1)
15/3/2017 23:45
Politik Bebas Aktif Tetap Relevan bagi RI
(ANTARA FOTO/Maril Gafur)

Politik luar negeri bebas aktif yang digagas proklamator Mohammad Hatta yang dianut Indonesia sejak merdeka hingga sekarang dipandang masih relevan. Namun, para pakar politik luar negeri dan diplomasi menegaskan sejumlah catatan, termasuk meminta pemerintah jeli saat bernegosiasi dengan negara lain. “Saya sepakat bahwa politik luar negeri bebas aktif masih sangat relevan,” kata Adriana Elisabeth, peneliti politik internasional pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam seminar bertajuk Masih Relevankah Politik Luar Negeri Bebas Aktif, di Universitas Paramadina, Rabu (15/3).

Pemerintahan Presiden Joko Widodo, kata Adriana, fokus pada empat hal terkait dengan kebijakan luar negeri dan diplomasi, yakni kedaulatan, pertahanan (defense), perlindungan warga negara Indonesia (terutama di luar negeri), dan diplomasi ekonomi. Di tengah persaingan global antara Amerika Serikat dan Tiongkok, sikap Indonesia sangat ditunggu. “Indonesia tidak perlu ikut siapa-siapa juga, tapi kalau mau ikut tentu dengan landasan bebas aktif, yaitu freedom of action and independence of judgment, yang menurut saya menjadi pijakan yang sangat kuat,” kata Adriana.

Menurut Wiryono Sastrohandoyo, mantan Duta Besar Indonesia untuk Austria, Prancis, dan Australia, Indonesia saat ini tidak lagi ‘mendayung di antara dua karang’ karena karangnya sudah berubah menjadi multikarang. “(Tapi) karena politik bebas aktif bertumpu pada dua prinsip, yakni freedom of action and independence of judgment, tumpuan ini selalu relevan,” ujarnya.

Ia menekankan politik bebas aktif tetap relevan dalam rangka memajukan kepentingan nasional, memosisikan negara secara baik, dan menyumbangkan kebijakan konstruktif di dunia internasional. Lebih lanjut, Adriana mengatakan pilihan politik luar negeri Indonesia saat ini sangat mengarah ke dalam negeri sehingga prioritas membangun domestik, semisal infrastruktur sangat menonjol. Namun, ia menggarisbawahi bahwa cara Indonesia sangat terbuka dalam mengundang investor. “Tapi masalahnya investasi ialah sesuatu yang sangat sensitif untuk aset-aset politik. Nah, itu yang kadang jarang diperhatikan di awal negosiasi,” ujarnya.

Ia mencontohkan pengalamannya saat melakukan riset di Papua. Ada satu pabrik semen milik investor Tiongkok dibangun di Manokwari. “MoU-nya pabrik semen. Ternyata di wilayah garapan tidak hanya ada semen, juga ada uranium. Nah, itu yang negosiasi awalnya yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia terkait dengan diplomasi ekonomi,” ujarnya. (Hym/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya