Pejuang Perempuan FARC Ingin Normal

07/3/2017 06:45
Pejuang Perempuan FARC Ingin Normal
(AFP/LUIS ACOSTA)

MENENTENG senapan, berseragam hijau, dan bersepatu bot karet hitam, para pejuang perempuan dari kelompok pemberontak Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) telah menjadi salah satu wajah internasional dari perang sipil Kolombia.

Ribuan anggota FARC sedang mempersiapkan diri untuk kembali ke kehidupan sipil.

Proses perlucutan senjata anggota FARC dijadwalkan rampung pada Mei mendatang di bawah kesepakatan damai dengan pemerintah.

Menurut catatan, sekitar 40% dari 7.000 anggota FARC ialah perempuan.
Puluhan tahun hidup di tengah hutan lebat membuat pejuang perempuan
FARC dikhawatirkan 'gagap' menghadapi rutinitas normal yang membutuhkan skill, semisal sekolah atau bekerja.

Maklum mayoritas dari mereka tidak pernah duduk di bangku sekolah.

Hal itu pula yang dialami Manuela Canaveral, 22, yang berharap bisa kembali ke sekolah setelah kembali ke kehidupan sipil nanti.

Pernah memimpin protes sipil ketika SMA, ia drop out setelah menerima ancaman dari paramiliter sayap kanan, salah satu dari banyak pihak yang terlibat dalam konflik.

Dia memilih bergabung dengan FARC di usia 15 tahun, alasannya, 'Untuk melindungi nyawa saya.'

Canaveral mengaku merasa aman menjadi anggota FARC karena kelompok itu memberikan kebebasan serta perlindungan.

"Selama gerilya, saya memahami bahwa kita bisa memiliki rambut pendek dan (itu) tidak membuat identitas perempuan saya berkurang," ujarnya sembari tertawa.

"Saya ingin mendapatkan ijazah diploma dan belajar filsafat, komunikasi, atau pendidikan. Ada banyak hal yang ingin saya lakukan."

Rekan Canaveral, Erica Galindo, 39, merasa ia telah menghabiskan seluruh usianya sebagai gerilyawan, selama 24 tahun dari 39 tahun usianya.

FARC mengajarkannya keterampilan perawat dan ia ingin mendapatkan kualifikasi resmi menjadi perawat saat menjadi warga sipil lagi.

"Saya mengimpikan bisa bekerja membantu orang-orang miskin, membawa mereka kehangatan kemanusiaan, dan menyembuhkan mereka," kata dia.

Sementara, Maritzal Gonzalez, 54, telah menjadi anggota FARC selama 40 tahun, berpartisipasi dalam perang yang menewaskan sedikitnya 260 ribu orang.

Lahir di seberang perbatasan di Venezuela, ia bergabung dengan FARC untuk keluar dari kemiskinan.

Tugasnya ialah memasak dan bersih-bersih, juga berjaga-jaga dengan senjata di tangan.

Sekarang dia tersenyum saat berencana kembali ke keluarga yang dia ditinggalkan.

"Saya akan menukar senapan dengan sapu." (AFP/Haufan Hasyim Salengke/I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya