Bisnis Doa secara Daring Diburu

02/2/2017 05:00
Bisnis Doa secara Daring Diburu
(AP/EUGENE HOSHIKO)

DI sebuah ruangan, aroma dupa begitu kental dan menusuk hidung.

Di tempat itu, biksu Kaichi Watanabe tengah melantunkan kidung doa.
Rangkaian kalimat religius tersebut dituturkan Watanabe untuk mengenang kematian seorang perempuan sebagai bagian dari upacara agama Buddha.

Dalam ritual agama itu, Watanabe menggoyangkan lonceng tradisional kecil.

Selanjutnya, dia membungkukkan tubuhnya tepat di depan anggota keluarga perempuan yang tengah berduka.

Tak lebih dari 30 menit, ritual yang dipimpin Watanabe pun berakhir.

Watanabe yang telah menginjak usia 41 tahun tampak tak berbeda dengan penampilan para biksu lainnya di 'Negeri Sakura'.

Namun, ada fenomena yang berbeda melekat pada diri Watanabe.

Watanabe ternyata tidak berada dalam naungan kuil mana pun.

Dengan begitu, dia tidak memiliki ikatan dengan kuil.

Dia ialah biksu yang siap disewa untuk memberi pelayanan doa di seluruh antero Jepang.

Dalam memasarkan jasanya, Watanabe tidak mengenalkan dirinya dengan cara mendatangi warga dari pintu ke pintu.

Dia memasarkan jasa pelayanan doanya melalui media daring yang dikelola perusahaan yang bernama Minrevi.

Sebagaimana sebuah perusahaan jasa, tarif jasa pelayanan doa pun beragam.

Perusahaan jasa doa yang dikelola Minrevi bukan hanya menyalurkan aktivitas biksu Watanabe.

Minrevi juga menaungi sekitar 700 biksu lainnya.

Bisnis pelayanan jasa doa mengalami tren menaik terutama sejak Mei 2013.

Bisnis menjanjikan tersebut mengalami booming setelah semakin banyak orang Jepang tidak lagi terikat dengan kuil-kuil lokal.

Di sisi lain, para penganut Budha menghadapi dilema saat menggelar upacara keagamaan di sebuah kuil.

Mereka tidak mengetahui berapa besar uang donasi yang digelontorkan kepada para biksu.

Mereka juga menghadapi sejumlah kendala lain.

"Banyak kuil di lingkungan ini, tetapi saya tidak mengetahui harus menghubungi ke mana," papar salah seorang anggota keluarga yang tengah berkabung.

"Saya juga tidak tahu berapa banyak yang harus disumbangkan. Namun, ini (Watanabe) memiliki sistem harga yang jelas," tambah pria yang tak mau menyebut namanya tersebut.

Kini pelayanan doa dari biksu secara daring kian diburu.

Pasalnya, banyak kuil di 'Negeri Matahari' itu yang kerap menghimpun sumbangan. Sumbangan yang digunakan untuk renovasi kuil itu nilainya mencapai jutaan dolar AS.

Kritik pun dilontarkan masyarakat Jepang.

Mereka menilai para biksu dinilai tak lagi memegang ajaran Buddha sebagai pengabdian.

Para biksu dinilai lebih tergoda untuk menumpuk pendapatan dari pada memberi siraman rohani dan pelayanan agama.

Seorang anggota eksekutif Federasi Buddha Jepang, Chiko Iwagami, tak menyangkal tuduhan dari masyarakat itu.

Dia menambahkan, para biksu yang tak memegang ajaran agama membuat publik kian tak percaya.

"Itu mengabaikan semangat sumbangan," ujarnya.

Kendati begitu, Chiko tidak setuju dengan tawaran pelayanan doa yang dikelola Minrevi.

Dia menilai layanan doa secara daring itu hanya memodifikasi sistem sumbangan umat dengan cara yang berbeda saja. (AFP/Indah Hoesin/I-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya