Kelaparan, Kaktus Jadi Solusi

AFP/Indah Hoesin/I-2
20/1/2017 06:01
Kelaparan, Kaktus Jadi Solusi
(AFP/RIJASOLO)

PITA hitam masih melingkar di topi jerami Karaniteny.

Itu menjadi simbol berkabung setelah ia kehilangan Vahana, putrinya yang baru berusia 10 tahun.

Vahana meninggal pada Oktober setelah hanya memakan buah kaktus merah.

Hal itu terjadi karena kaktus jadi satu-satunya tanaman yang bisa tumbuh setelah kekeringan melanda Distrik Anjapaly, Madagaskar selatan.

Menurut Program Pangan Dunia (WFP), wilayah itu berisikan hampir 1 juta orang kelaparan dan butuh bantuan pangan setelah krisis pemanasan global terjadi.

Bahkan, Rabu (18/1), Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (AS) mengumumkan bahwa 2016 adalah tahun terpanas setelah tiga tahun berturut-turut.

Dampak kenaikan suhu dan kekeringan membuat warga di Anjapaly putus asa.

"Pot, sendok, piring, pakaian, tikar, dan bahkan kaleng air telah saya jual semuanya untuk membeli singkong (makanan pokok), tapi itu pun tidak cukup," ujar Karaniteny yang juga ibu dari 12 anak.

Akhirnya mereka harus bertahan hidup dengan memakan kaktus liar.

"Kami tidak makan apa-apa selain daun dan buah kaktus merah. Putri saya hanya makan itu. Dia tidak tahan dan akhirnya mati," ujarnya.

Karena kekeringan pula, Karaniteny merelakan dua anaknya untuk pindah dari Anjapaly demi lepas dari kelaparan.

Sekarang, ibu berusia 40 tahun tersebut harus mengurus cucunya.

Kondisi sang cucu yang berusia empat tahun itu kurus dengan perut bengkak, ciri kekurangan gizi.

Tidak hanya Karaniteny, sekitar 100 kilometer dari Anjapaly, di Kota Andranobory, seorang ibu juga harus berjuang untuk memberi makan 10 anaknya.

"Dengan uang yang didapat selama seminggu (1.000 ariary/30 sen dolar AS), saya membeli dua cangkir beras," ujar Sarah Esther yang berjualan garam untuk mendapatkan uang.

Air minum pun langka dan hanya tersedia berkilo-kilometer jauhnya.

Bahkan, butuh berhari-hari bagi warga hanya untuk mendapatkan air minum.

Harga air juga melonjak tinggi, untuk 20 liter dijual 500 hingga 1.500 ariary, 25 kali lipat lebih mahal daripada harga di Antananarivo, ibu kota Madagaskar.

Hujan turun terakhir kali pada Desember 2016 lalu setelah lima bulan kekeringan di Anjapaly.

Hujan tersebut membuat sebuah lubang besar di sana yang berisikan air lumpur.

Air lumpur bukanlah solusi bagi penduduk.

Namun, seorang perempuan setempat rela mengambil air tersebut untuk dibawa pulang.

"Dengan air ini, kami akan menyiapkan makanan karena tidak ada lagi air selain di sini. Ini membuat kami sakit, tapi kami harus meminumnya," ujarnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya