Alam Pergi saat belum Rasakan Makanan

MI
29/11/2016 07:45
Alam Pergi saat belum Rasakan Makanan
ROHINGYA: Seorang pengungsi Rohingya membawa Alam, bayi berusia 6 bulan yang tewas saat dibawa ibunya mengungsi untuk menghindari kejaran tentara Myanmar, di kamp pengungsi Leda dekat Teknaf, Bangladesh, Sabtu (26/11).(AFP/MUNIR UZ ZAMAN)

KELOPAK mata Samira Akhter, 27, tampak cekung dan kurang tidur. Raut wajahnya menggambarkan duka yang sangat mendalam. Di sebuah kamp pengungsi tak resmi di wilayah pinggiran Bangladesh, ibu tiga anak tersebut mengisahkan pengalaman getirnya.

"Tentara (Myanmar) telah membunuh suami saya dan membakar rumah kami," ucap Samira yang berasal dari sebuah desa di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, kemarin.

"Saya melarikan diri dengan menyusuri sebuah bukit bersama tiga anak dan beberapa tetangga saya. Kami bersembunyi di sana (sebuah bukit) selama seminggu," tutur Samira.

Jika dibandingkan dengan warga etnik Rohingya lainnya, Samira termasuk bernasib mujur. Bersama beberapa tetangganya, ia berhasil melintasi perbatasan Myanmar. Kini, ia tinggal sementara bersama 49 warga Rohingya lain di sebuah kamp pengungsi tidak resmi di Bangladesh.

Nasib serupa dialami Nur Begum, 22. Nur menceritakan suaminya dan dua anaknya juga tewas ditembus peluru tajam tentara Myanmar. Namun, Nur bersama bayi lelakinya, Alam, dapat lolos dari kejaran para tentara yang bengis itu.

Selama tiga minggu, dengan tanpa alas kaki dan bekal makanan, Nur yang menggendong Alam terus berjuang untuk meninggalkan desanya di Rakhine. Agar terhindar dari kejaran tentara Myanmar, Nur terpaksa memilih jalur medan hutan yang berat.

Perjuangan berat Nur bersama bayinya berakhir. Mereka tiba di kamp pengungsi Leda dekat Teknaf, Bangladesh, pada Sabtu (26/11) malam. Sayangnya, hanya beberapa jam setelah tiba di kamp tersebut, bayinya yang berusia enam bulan dan kurus kering itu menghembuskan napas terakhir.

"Saya memang mendapatkan makanan di kamp dan saya pikir bisa memberikan makanan buat anak saya," ucap Nur. "Tapi anak saya meninggal sebelum saya sempat memberinya makanan," tambah ibu kurus dengan air mata menetes di pipinya.

Trauma yang mendalam dialami kakak-adik Habiba, 20, dan Samira, 18. Kini Habiba dan Samira bersama kakak laki-laki mereka, Hashim Ullah, 25, telah berada di sebuah kamp pengungsi di Bangladesh.

"Mereka (tentara Myanmar) mengikat kami berdua di tempat tidur dan memerkosa kami satu per satu," kenang Habiba saat tentara menyerbu Desa Udang di Rakhine, Myanmar.

"Mereka (tentara) membakar rumah kami. Mereka juga membunuh ayah kami."

Terkait dengan kekejian dan kebiadaban tersebut, pekan lalu pejabat PBB pun mengecap pemerintah Myanmar telah melakukan pembersihan etnik muslim Rohingya.

Ironisnya, tokoh Myanmar yang diidolakan dan dijuluki ikon demokrasi serta pembela hak asasi manusia, Aung San Syu Kyi, peraih Nobel Perdamaian, hanya diam dan menjadi penonton aksi genosida itu. (AFP/Deri Dahuri/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya