Suu Kyi Dikritik terkait Tragedi Kemanusiaan di Myanmar

Thomas Harming Suwarta
26/11/2016 19:27
Suu Kyi Dikritik terkait Tragedi Kemanusiaan di Myanmar
(AFP PHOTO / TOSHIFUMI KITAMURA)

PEMENANG hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang juga tokoh pemimpin demokratis Myanmar dianggap gagal melindungi warga muslim Rohingya di negerinya dari kekerasan yang dilakukan secara sistematis oleh militer.

Suu Kyi yang sudah menjadi ikon demokrasi oleh masyarakat internasional tersebut dianggap 'diam' meskipun terdapat bukti kuat adanya kejahatan kemanusiaan oleh militer Myanmar terhadap komunitas Rohingya yang mayoritas muslim.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pernyataannya mengatakan bahwa apa yang terjadi di Myanmar merupakan sebuah operasi sistematis 'pembersihan etnis' muslim Rohingya dari Myanmar.

Suu Kyi dinilai gagal melakukan perlindungan terhadap warga Rohingnya dan hal tersebut membuat dunia internasional bingung.

"Terus terang sikap diam Suu Kyi membuat bingung dunia internasional. Kenapa ikon Hak Asasi Manusia itu diam saja?" kata David Mathieson dari Human Rights Watch.

"Mungkin salah satu hal yang menjelaskan diamnya adalah ketidakpedulian, tetapi yang paling mungkin dia hanya tidak memiliki kontrol atas tentara Burma."

Dalam krisis Rohingya ini, ribuan warga telah melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar di Rakhine dan mencari perlindungan ke Bangladesh. Di bawah serangan militer, warga mengaku diperkosa, dibunuh serta rumah mereka dibakar dan dijarah.

Namun, di tengah sorotan dunia internasional, pemerintah tegas membantah adanya kekerasan sistematis yang dilakukan militer Myanmar. Pemerintah berkelit apa yang dilakukan merupakan upaya pembelaan diri dari pasukan pemberontak bersenjata.

Pemerintah juga mengecam berbagai laporan di media-media massa sebagai 'rekayasa'.

Suu Kyi, yang melakukan perjalanan ke India dan Jepang selama krisis yang terjadi di Rohingya, hanya mengatakan penyelidikan atas serangan itu sedang berlangsung sesuai dengan hukum yang berlaku.

Para peneliti di Queen Mary University London mengatakan diamnya Suu Kyi justru memberi pesan bahwa dia melegitimasi genosida dan membiarkan penganiayaan terhadap minoritas Rohingya.

"Terlepas dari kenyataan bahwa ini adalah tes yang paling signifikan dari kepemimpinan Suu Kyi, pemimpin negara itu de facto tetap sangat acuh tak acuh," kata mereka.

Suu Kyi memang bisa saja berkelit bahwa pemerintahan yang dia kendalikan saat ini tidak sepenuhnya bisa dia kontrol karena terhambat oleh konstitusi pada era junta militer yang memberikan tentara seperempat kursi parlemen dan kontrol penuh atas keamanan. Dia juga bisa saja ikut dalam pandangan sempit yang selama ini selalu disebut bahwa warga Rohingya ialah imigran ilegal.
"Tanggapan pemerintah menunjukkan bahwa hal itu baik tidak memiliki kontrol atas militer yang masih berkuasa, atau menganggap melindungi etnis minoritas seperti yang dituduhkan terlalu politis," kata seorang pengamat Verisk Maplecroft.

Namun, di dalam zona konflik, Rohingya dan dunia internasional tentunya masih berharap dengan kekuatan pengaruh Suu Kyi.

"Masyarakat internasional harus memberikan tekanan serius pada Aung Suu Kyi atau masalah ini tidak akan diselesaikan," kata Verisk.

Sementara itu Jaringan Pembela Hak Para Pengungsi Wilayah Asia Pacific (APRRN) yang merupakan jaringan masyarakat sipil dengan lebih dari 250 anggota, mengungkapkan keprihatinannya atas nasib ribuan warga komunitas Rohingya yang tengah berusaha mencari perlindungan dari kebrutalan militer Myanmar.

Secara khusus saat ini warga Riohingnya tengah berupaya mencari perlindungan ke Bangladesh, sementara di sisi lain pemerintah Bangladesh tidak membukakan wilayah perbatasan bagi masuknya gelombang pengungsi warga Rohingya dengan dalih bahwa jika perbatasan dibuka akan menjadi preseden untuk Myanmar tetap melakukan kejahatannya. (AFP/OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya