Perjalanan yang tidak Pernah Lepas...

Ono Sarwono
10/10/2016 05:45
Perjalanan yang tidak Pernah Lepas...
(MI/ONO SARWONO)

JUDUL tulisan ini merangkum kekhawatiran impulsif saya selama melakukan perjalanan singkat di Istanbul, Turki, akhir September lalu.

Saya merasa tidak bisa lepas alias selalu waswas saat blusukan ke sejumlah tempat di negeri itu.

Itu, tentu, akibat aksi-aksi terorisme di berbagai belahan Turki belakangan ini yang menelan korban jiwa.

Masih hangat pula kudeta terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan yang gagal.

Hingga saat ini pun, aparat masih terus melakukan bersih-bersih terhadap siapa pun yang berbau Fethullah Gulen, orang yang dituduh Erdogan sebagai aktor aksi inkonstitusional tersebut.

Namun, di tengah rasa waswas itu, saya sempat memberanikan diri keluar kamar hotel untuk mengintip sudut-sudut Istanbul, kota yang dulu bernama Konstantinopel.

Sayang, kata hati saya, bila kota bersejarah nan eksotis yang menjadi surga wisatawan dunia ini dilewatkan.

Namun, sejujurnya, saya memang tidak bisa leluasa bernikmat-nikmat.

Pada Jumat (30/9), saya bersama sejumlah teman berniat salat di masjid.

Selain wajib, kami ingin mengenal suasana salat Jumat di Turki.

Awalnya, pihak yang memfasilitasi kami (Karpowership), demi keselamatan, meminta kami menghindari tempat-tempat banyak orang berkumpul.

Setelah menimbang-nimbang, kami nekad meluncur ke sebuah masjid klasik yang berada di seberang Stadion Besiktas.

Masjid itu tepatnya di depan pintu masuk Istana Dolmabahce di bibir Selat Bosphorus.

Di sana sudah banyak orang.

Rasa khawatir terus menghampiri.

Namun, dengan kepasrahan, kami beserta sekitar seratus warga Turki akhirnya dapat salat dengan aman dalam penjagaan polisi.

Pada hari berikutnya, kami menaiki bus menyusuri jalan di kawasan Bebek di pinggir Selat Bosphorus yang indah, sebelum akhirnya berhenti untuk menaiki kapal pesiar.

Sekitar 1 jam kami menyejukkan hati dan mata dengan biru air selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Marmara.

Langit pun biru bersih menenteramkan.

Burung-burung camar berseliweran seolah 'mengawal' kami.

Di selat ini saya agak lega menghirup udara sejuk di tengah lalu lalang kapal wisatawan.

Saya sempat mendongakkan kepala ketika kapal yang kami tumpangi menderu di bawah Bosphorus Bridge.

Jembatan itu saat kudeta pecah diblokade sejumlah tank.

Kini nama jembatan diubah menjadi 15 Temuz Sehit Kopru, yang artinya kurang lebih Jembatan para Martir 15 Juli.

Menurut Sya'roni Rofii, warga Indonesia yang kuliah di Universitas Marmara, sejak kudeta pada 15 Juli lalu, wisatawan di Istanbul turun sekitar 60%.

Sebelumnya, setiap tahunnya jumlah wisatawan di kota yang indah berbukit-bukit tersebut rata-rata sekitar 30 juta orang.

Pantas saja, gumam saya, banyak kapal wisatawan nganggur, tertambat.

Restoran-restoran pun tidak begitu ramai.

Para pedagang kaki lima yang menawarkan kacamata, jam tangan, ikat pinggang, dan barang lainnya pun tampak lesu.


Kapalicarsi

Situasi agak sepi juga tampak di Museum Hagia Sophia, katedral ortodoks yang dibangun pada abad ke-15, yang sempat dijadikan masjid sejak Konstantinopel ditaklukkan Sultan Mehmed II pada 1453 M.

Sedikit berbeda di Masjid Sultan Ahmed yang berada di seberang Hagia Sophia.

Di sana lumayan banyak wisatawan, ada yang duduk-duduk di pelataran depan dan samping, ada pula yang masuk menikmati bagian dalam masjid.

Kami salat zuhur di masjid yang sangat indah tersebut.

Di sini saya tidak berlama-lama. Seusai salat, saya langsung keluar.

Situasi agak lengang tampak pula di Istana Topkapi.

Ini kediaman resmi Sultan Utsmaniyah selama lebih dari 600 tahun (1465-1856).

Sungguh indah setiap sudutnya, apalagi bila kita melihat Selat Bosphorus dari tempat pandang yang berada di bagian belakang samping kiri istana.

Tahun-tahun sebelumnya, kata petugas, istana ini penuh wisatawan.

Menjelang sorenya, kami meluncur ke Kapalicarsi atau Grand Bazaar. Ini salah satu pasar terbesar dan tertua di dunia (dibangun pada 1455-1461).

Ada sekitar 4.500 toko (kios) yang menjajakan segala macam kebutuhan produk Turki.

Rata-rata setiap harinya dijejali lebih dari 400 ribu wisatawan.

Namun, ketika kami ke sana, pasar terasa longgar.

"Setelah aksi teror pada Juni dan kemudian kudeta Juli lalu, pasar ini sepi. Tidak banyak wisatawan yang ke sini," keluh Yasher, pedagang suvenir. "Sekarang susah dapat duit."

Di sini pun saya juga tidak merasa lepas.

Tetap ada rasa waswas sehingga hanya tahan sekitar setengah jam.

Padahal, konon, untuk bisa menjelajahi setiap sudut pasar diperlukan waktu lebih dari sehari.

Setelah itu kami kembali ke hotel dan berkemas untuk kembali ke Tanah Air.

Dalam perjalanan ke Bandara Ataturk Istanbul kami sempat dihentikan polisi ketika jam menunjukkan pukul 23.30 waktu setempat.

Ini yang membuat saya deg-degan.

Seisi bus diperiksa.

Karena tidak ada yang dicurigai, kami lanjut sampai bandara.

Pada 28 Juni lalu, bandara ini diguncang bom bunuh diri yang menewaskan setidaknya 28 orang.

Saat berada dalam perut pesawat Turkish Airline pun, dalam penerbangan menuju Jakarta, saya masih belum tenang seratus persen.

Baru setelah pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pada sore waktu Jakarta, hati pun lega, plong. (Ono Sarwono/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya