Kelas Pekerja Jadi Rebutan

Thomas Harming Suwarta
02/8/2016 07:00
Kelas Pekerja Jadi Rebutan
(AFP/ GETTY IMAGES/JUSTIN SULLIVAN)

KANDIDAT Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, berupaya menarik dukungan dari kalangan kelas pekerja. Akhir pekan kemarin, dia mengunjungi wilayah yang disebut Rust Belt, sebuah wilayah di timur laut dan barat tengah AS yang merupakan kawasan industri yang sedang lesu.

Dengan menggunakan sebuah bus, Clinton pergi bersama suaminya, mantan Presiden AS Bill Clinton, dan calon wakilnya, Tim Kaine. Kurang lebih 1.000 km perjalananan dari Philadephia ke Colombus, Ohio, ia tempuh dengan harapan mendapat dukungan dari kelas pekerja, terutama dari kelompok kulit putih yang cenderung memilih figur rivalnya, Donald Trump.

Di wilayah itu, Hillary banyak melihat lanskap pabrik baja tua yang sudah ditutup sejak akhir 1970-an, dan sejumlah pabrik lainnya tak lagi beroperasi sejak 1990-an.

Resesi 2008-2009 yang menerpa AS semakin memperburuk keadaan, dan pemulihan ekonomi pada tahun berikutnya hanya menghasilkan sebagian kecil saja dari lapangan kerja yang hilang dan industri-industri yang terpaksa gulung tikar. "Saya mengerti bahwa ada orang-orang yang merasa bahwa ekonomi tidak bekerja dengan baik bagi mereka," kata Clinton.

"Dan saya mengerti itu, karena saya tidak puas dengan status quo, bukan?" tanyanya.

Itu merupakan perjalanannya yang pertama setelah diresmikan sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat. Dalam pernyataannya, Clinton berjanji menjalankan apa yang ia janjikan, termasuk soal kesempatan kerja dengan fokus pada pengembangan insustri manufaktur dan infrastruktur.

Namun, menurut pengamat ketenagakerjaan dari George Town University, John Russo, warga sepertinya sulit mempercayai Hillary karena suaminya, Bill Clinton, ialah yang menyebabkan kebangkrutan itu. Dialah yang menandatangani pakta perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA). "Kelas pekerja sudah cukup lama marah atas isu-isu perdagangan mengingat banyak pekerjaan yang berhubungan dengan manufaktur telah hilang karena perjanjian itu (NAFTA)," kata Russo.

Akibat penandatangan NAFTA pada 1993, sejumlah pekerjaan berbasis manufaktur pindah ke negara-negara yang memiliki upah lebih rendah seperti ke Asia. Tahun-tahun berikutnya, industri manufaktur di AS terus menyusut. Langkah Bill Clinton itu juga jadi senjata bagi Trump untuk menyerang Demokrat. Mereka menyatakan kebijakan Hillary tidak akan berbeda jauh dengan suaminya.

Kawasan Ohio dan Pennsylvania yang merupakan daerah industri menjadi daerah kunci dalam pemilihan presiden November nanti. Memenangi satu atau yang lain, atau keduanya, bisa menjadi sangat penting untuk kemenangan menuju Gedung Putih, baik bagi kubu Republik atau Demokrat.

Dengan meningkatnya jumlah pemilih kulit putih, Trump bisa saja memimpin perolehan suara di kota-kota besar, seperti Philadelphia atau Cleveland. Pada bulan lalu, Trump menyatakan 'kemandirian ekonomi AS' dalam pidatonya dan dengan tajam mengutuk globalisasi.

"Kami akan membuat baja Amerika diproduksi kembali dan itu menjadi tulang punggung negara kita. Ini akan menambah lapangan pekerjaan," katanya kala itu.

Namun, pidato Trump maupun janji Hillary tak berarti apa-apa bagi Wali Kota Monessen di Pennsylvania, Louis Mavrakis. Monessen merupakan basis pendukung Demokrat, tapi bagi sang wali kota, baik Demokrat maupun Republik sama tak berguna.

"Saya sebenarnya muak dengan kedua belah pihak, dengan pemerintah kita, juga dengan cara mereka membantu negara-negara asing yang bahkan tidak suka dengan kita," kata Mavrakis." (AFP/AP/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya