Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
BERBAGAI konflik kini tengah terjadi di sejumlah negara muslim. Dari kekerasan bersenjata hingga krisis politik. Selain melibatkan pemerintah di suatu negara, konflik yang terjadi juga menyeret aktor nonnegara, seperti kelompok Islamic State (IS), Al-Qaeda, Al-Shabaab, Boko Haram, dan lain-lain yang notabene mengaku sebagai muslim.
Ironisnya, aksi kelompok-kelompok ini kerap kali menimbulkan korban masif di kalangan sipil dan nonkombatan (pihak yang tidak mengambil bagian langsung dalam permusuhan).
Bahkan, mereka secara kejam memenggal sandera atau tawanan, sesuatu yang sangat bertentangan dengan Hukum Humaniter Islam Internasional dan fiqh (Islamic Jurisprudence) yang mengatur etika perang.
"Prinsip dasar Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Humaniter Internasional Islam ialah perlindungan nyawa dan kehidupan nonkombatan," kata Ahmed Mohsen Al-Dawoody, Pakar Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam terkait dengan konflik bersenjata (fiqh jihad), dalam suatu diskusi di Jakarta, belum lama ini.
Di sela-sela diskusi, wartawan Media Indonesia Haufan Hasyim Salengke mewawancarai doktor dari Universitas Birmingham, Inggris, yang juga pengajar di Universitas Al-Azhar, Mesir ini, seputar isu terorisme, jihad, dan masalah sandera dalam kacamata ajaran Islam. Berikut nukilannya:
Jihad tampaknya telah melenceng dari yang ditekankan Nabi Muhammad. Bahkan, sejumlah media menggunakan kata 'jihadis' untuk merujuk pada militan Islam seperti kelompok Islamic State (IS). Sebenarnya bagaimana pengertian dan konsep jihad menurut Alquran dan hadis?
Kata jihad secara sederhana berarti berjuang atau berusaha keras, berjuang untuk melakukan perbuatan baik, di jalan yang baik, dan terpuji. Itulah mengapa di dunia Islam kata jihad menjadi nama banyak anak laki-laki dan perempuan karena konotasinya bagus.
Titik pokok dari isu ini ialah apakah jihad itu hanya berperang atau berjuang, atau apakah itu dibenarkan atau tidak. Di dalam peradaban mana pun dan dalam setiap tradisi hukum di mana pun, tiap-tiap individu atau setiap bangsa memiliki hak untuk mempertahankan diri.
Namun, ahli hukum sepakat ada dua bentuk jihad, yakni tidak hanya defensif war, tetapi juga offensive war. Mereka sampai pada pehaman tersebut berdasarkan konteks sejarah dan budaya tempat Islam dan muslim diperlakukan dengan kejam atau dihalangi untuk menyebarkan keyakinan mereka.
Saat ini upaya menyebarkan dan mempraktikkan Islam, misalnya di Amerika Serikat atau Eropa, berjalan lebih bagus dari sejumlah negara muslim. Anda bebas mengamalkan Islam di banyak negara nonmuslim, (kadang-kadang) jauh lebih baik jika dibandingkan dengan di banyak negara muslim. Di beberapa negara muslim, perempuan masih dilarang menggunakan hijab di tempat kerja dan universitas.
Di era kenabian, Nabi Muhammad punya otoritas mengeluarkan perintah berperang, begitu juga di masa pemerintahanan kekhalifahan, tapi sekarang ini siapa yang memiliki otoritas tersebut, apakah IS dan Al-Qaeda berhak?
Sebenarnya, prinsip yang sangat mendasar dalam Islam bahwa salah satu tugas utama penguasa muslim ialah menjaga wilayah, menjaga hukum, dan memberikan perintah perang. Tidak seorang pun yang diizinkan untuk melakukan jihad kecuali jika perintah dikeluarkan otoritas yang sah.
Namun, di dunia modern ini, setelah runtuhnya sistem kekhalifahan dan diadopsinya sistem negara/bangsa, perintah perang atau penggunaan kekuatan juga harus dikeluarkan dan diregulasi oleh institusi yang ditunjuk sacara sah di negara-negara tertentu.
Apakah ada perbedaan mendasar antara Hukum Humaniter Internasional (IHL) dan hukum Islam tentang perang, dan bagaimana fikih menjelaskan atau menjustifikasi perang?
Hampir semua peradaban, budaya, dan sistem perundang-undangan telah mengatur penggunaan sumber kekuatan dalam konflik bersenjata. Hukum Islam merupakan salah satu yang mengatur penggunaan kekuatan di peringkat internasional dan konflik bersenjata noninternasional.
Ketika saya belajar Islamic Regulation on the Use of Force, dan saya bandingkan dengan Konvensi Jenewa 1948 dan Protokol Tambahan 1977, sungguh saya dibuat kagum dan takjub karena keduanya memiliki kesamaan.
Kesamaan mendasar antara IHL dan hukum Islam, yang biasa saya sebut Hukum Humaniter Internasional Islam, ialah mengenai perlindungan nyawa atau kehidupan nonkombatan. Prinsip-prinsip panduan ini akan ditemukan di semua mazhab hukum Islam.
Selama periode kenabian dan sejarah awal Islam, pasukan muslim mengikuti ide dan konsiderasi ini dengan serius.
Jadi, kedua hukum tersebut sama-sama kuat dan sesuai dengan dengan konteks saat ini?
Penting untuk kita ingat bahwa Konvensi Jenewa tidak dibuat nonmuslim saja, tetapi juga semua negara di dunia, termasuk negara-negara muslim. Jadi, negara-negara muslim pada hakikatnya sangat terlibat dalam pengembangan Konvensi Jenewa.
Namun, dewasa ini prinsip itu tidak ditaati dan banyak pelanggaran perang yang terjadi, misalnya saja memenggal sandera?
Sesungguhya yang kita saksikan di dunia modern ini sebagian besar penggunaan kekuatan oleh muslim di banyak negara dilakukan aktor nonnegara. Semua negara muslim ialah penandatangan Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, jadi umat muslim wajib menjalankannya.
Dalam Alquran (Surah Al-Insan:8) dikatakan, "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan." Jadi, sesungguhnya prinsip-prinsip tentang perintah memperlakukan tawanan secara manusiawi telah ada di dalam fikih.
Akan tetapi, kita sekarang melihat di televisi tentang aksi pemenggalan orang-orang yang ditawan, tidak hanya nonkombatan, tetapi juga pekerja kemanusiaan, anak-anak, praktisi medis, dan pendeta. Saya ingin tekankan bahwa hal tersebut sangat bertentangan dengan hukum Islam. (I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved