Pasca-Brexit,Eropa Memandang Rusia sebagai Ancaman

Haufan Hasyim Salengke
28/6/2016 06:00
Pasca-Brexit,Eropa Memandang Rusia sebagai Ancaman
(AFP/VANO SHLAMOV)

KETIKA Vladimir Putin bekerja di Dresden, ibu kota Negara Bagian Saxoni di Jerman Timur, tanpa berdaya ia menyaksikan sekutu Uni Soviet, Jerman Timur, menyelinap keluar dari orbit Moskow, bersatu dengan Jerman Barat, dan bergabung dengan kelompok demokrasi Eropa.

Soviet, yang mendominasi lembaga multilateral di Eropa, semisal Pakta Warsawa dan Council for Mutual Economic Assistance (Comecon), organisasi perdagangan ekonomi yang komandoi Soviet, juga menghilang.

Putin ialah saksi tumbangnya Uni Soviet, sebuah peristiwa yang di kemudian hari digambarkan sebagai salah satu tragedi terbesar abad ke-20.

Satu demi satu bagian dari kekaisaran Soviet memisahkan diri dan juga bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Uni Eropa (UE).

Selama hampir tiga dekade, Barat berkonsolidasi sementara Timur terus bergerak hancur.

Momentum menuju sebuah Eropa yang murni dan bebas begitu kuat hingga membuat para pemimpin Rusia sebelumnya bahkan main mata dengan ikut turut bergabung.

Tren tersebut kini telah terbalik.

Keputusan mayoritas pemilih Inggris Raya untuk keluar dari Uni Eropa, yang dikenal dengan Brexit (Britain Exit), bukanlah peristiwa pertama dari tren kebalikan tersebut, tapi mungkin yang paling dramatis.

Eropa kini dinilai justru melemah di saat Rusia dan sekutu-sekutu mereka berkonsolidasi, bahkan kedatangan anggota baru. Tentu saja Putin bukanlah penyebab kemenangan Brexit.

Namun, ia dan tujuan kebijakan luar negerinya mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari itu.


Kemenangan Putin

Tak dimungkuri bahwa dalam proses referendum Brexit terselip nama Rusia, yang menjadi bagian dari perdebatan.

Perdana Menteri (PM) David Cameron telah menyeret Putin ke kancah perdebatan.

Ia menyebut Putin sebagai satu-satunya pemimpin dunia yang siap menyambut kemenangan kubu pro-Brexit.

Kemenangan kubu Brexit dinilai sebagian kalangan sebagai kemenangan Putin dan kekalahan seterunya, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, yang sangat anti-Brexit.

Michael McFaul, mantan duta besar AS di Moskow, menyebut Putin sebagai pihak yang memenangi hasil referendum yang menghasilkan perceraian 'Negeri Ratu Elizabeth' dengan Uni Eropa (UE).

"Kaget dengan putusan Brexit. Para pecundang: Uni Eropa, Inggris, AS, (dan) mereka yang percaya pada utilitas sebuah Eropa yang kuat, bersatu, (dan) demokratis. Malam ini adalah kemenangan besar bagi tujuan kebijakan luar negeri Putin," kata McFaul seperti dikutip Sunday Express, Jumat (24/6).

Sehari setelah referendum, para wakil di parlemen Rusia menyambut baik keputusan Inggris untuk meninggalkan UE.

Mereka blakblakan berspekulasi bahwa Brexit ialah kekalahan bagi AS dan akan mengurangi sanksi ekonomi terhadap Rusia.

Pemimpin Partai Demokrasi Liberal, Vladimir Zhirinovsky, mengatakan kalangan perdesaan, provinsi, dan kaum buruh 'tidak' untuk UE, lembaga ekonomi yang disebutnya sebagai mafia keuangan, globalis, dan aktor lainnya.

"Warga Inggris memilih untuk kedaulatan parlemen Inggris dan, itu berarti, untuk demokrasi dan melawan kediktatoran pegawai sipil Brussels," ujar Andrei Klishas, senator di Majelis Tinggi Parlemen Rusia, seperti dilaporkan kantor berita pemerintah, RIA Novosti.

Presiden Putin secara pribadi belum mengeluarkan komentar terkait dengan kemenangan kubu pro-Brexit. Juru bicaranya, Dmitry Peskov, mengatakan, "Brexit ialah urusan internal Inggris dan sebuah pertanyaan bagi hubungan antara Inggris dan UE."

Namun, para pejabat eksekutif Rusia mengatakan Brexit mungkin akan melemahkan tekad UE menjatuhkan sanksi pada Rusia.

"Tanpa Inggris di Uni Eropa tidak ada orang yang akan sangat bersemangat menyokong sanksi terhadap kami," kata Wali Kota Moskow Sergei Sobyanin di Twitter.

Inggris ialah salah satu pihak yang sangat mendukung penjatuhan sanksi setelah Rusia menganeksasi Krimea, wilayah Ukraina.

London melihat sanksi sebagai langkah penting untuk mengekang ambisi kekaisaran Moskow.

"Dari semua negara Uni Eropa, Inggris ialah yang paling agresif terhadap Rusia," ungkap analis politik, Alexei Mukhin. "Mereka selalu mengkritik kami dan mencoba untuk menyakiti kami secara ekonomi, finansial, dan politik. Brexit akan membuat UE lebih ramah terhadap Rusia," timpalnya.

Optimisme kaum nasionalis Rusia itu tampaknya seirama dengan keinginan para pemuka kelompok pro-Brexit di London, yang telah menyerukan hubungan yang lebih baik dengan Rusia.

Enam bulan lalu, mantan Wali Kota London Boris Johnson, aktor paling vokal yang mengampanyekan Inggris keluar dari UE, mendesak Inggris untuk bekerja lebih erat dengan Rusia dalam memerangi kelompok radikal Islamic State (IS) di Suriah.

Pria yang digadang-gadang akan menggantikan posisi PM Cameron itu mengatakan, "Tidak benar bahwa apa pun yang baik bagi Putin harus otomatis menjadi buruk bagi Barat."


UE, NATO vs imperium Rusia

Hubungan antara Rusia dan Barat diprediksi akan semakin kompleks pasca-Inggris bercerai dari Uni Eropa.

Jenderal purnawirawan Inggris, Sir Alexander Richard Shirreff, memprediksi Moskow akan menganeksasi wilayah timur Ukraina dan menginvasi negara-negara Baltik, memicu peperangan.

Shirreff, yang juga mantan wakil komandan NATO, mengatakan dalam sebuah buku yang baru diterbitkan berjudul 2017 War with Russia bahwa peristiwa di Krimea telah menghancurkan tatanan pasca-Perang Dingin dan menciptakan panggung konflik, mulai tahun depan.

"Putin bisa menyerang negara-negara Baltik dan kemudian mengancam aksi nuklir jika NATO mengancam untuk melakukan campur tangan," tegasnya, seperti dilansir The Guardian.

Sekata dengan Shirreff, Laksamana AS James Stavridis, mantan panglima tertinggi sekutu Eropa, berpendapat, "Di bawah Presiden Putin, Rusia telah memetakan tujuan berbahaya yang, jika dibiarkan terus, dapat menyebabkan bentrokan dengan NATO."

Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, mengatakan Inggris akan tetap menjadi sekutu yang kuat dan terus memainkan peran utama dalam NATO meskipun telah meninggalkan UE.

Pihaknya akan menyediakan platform untuk kerja sama lanjutan di antara negara anggota Eropa dalam menghadapi tantangan keamanan baru.

"Inggris akan tetap kuat dan berkomitmen NATO sekutu dan akan terus memainkan peran utama dalam aliansi kami," kata Stoltenberg.

Sementara itu, Kremlin berharap hubungan Rusia dengan Inggris Raya akan membaik setelah keputusan Brexit.

"Kami berharap bahwa pemahaman untuk membangun hubungan baik dengan negara kita akan berlaku dalam realitas baru," kata Peskov.

Namun, Peskov tidak menampik bahwa arus hubungan antara London dan Moskow cukup rumit. (AFP/AP/I-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya