Johnson Berpeluang Gantikan Cameron

Indah Hoesin
25/6/2016 00:15
Johnson Berpeluang Gantikan Cameron
()

RENCANA undur diri Perdana Menteri Inggris David Cameron setelah hasil re­ferendum yang memenangkan kubu Brexit memunculkan spekulasi mengenai siapa yang bakal menggantikan posisinya.

Menurut hasil akhir referendum yang digelar Kamis (24/6), kubu Brexit (mereka yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa ) unggul tipis dengan 51,9% suara berbanding 48% untuk kalangan yang pro-Uni Eropa.

Cameron, pemimpin Partai Konservatif, telah mengumumkan akan berhenti sebagai perdana menteri pada Oktober setelah kekalahan dalam referendum itu. "Saya akan melakukan semua yang saya bisa sebagai perdana menteri untuk menstabilkan kapal selama beberapa minggu dan bulan mendatang. Namun, saya tidak berpikir itu akan tepat bagi saya untuk mencoba menjadi kapten yang mengarahkan negara ke tujuan berikutnya," kata Cameron yang berpihak ke UE.

"Orang-orang Inggris telah memutuskan untuk meninggalkan Uni Eropa dan kemauan mereka harus dihormati," imbuh Cameron, yang didera gelombang kejut Brexit yang telah memicu fluktuasi mata uang pound sterling, saham global, dan anjloknya harga minyak .

Sejumlah media utama di Inggris Raya, semisal The Telegraph, Mirror, Sky News, dan Daily Mail, memperkirakan mantan Wali Kota London Boris Johnson yang pro-Brexit sebagi figur yang paling potensial menduduki kursi partai dan kepemimpinan Partai Konservatif yang ditinggalkan Cameron.

Selain Johnson, sejumlah nama elite lain dari Partai Konservatif yang digadang-gadang menggantikan Cameron ialah anggota parlemen Michael Gove, Menteri Dalam Negeri Theresa May, Menteri Keuangan George Osborne, dan anggota parlemen Stephen Crabb.

Johnson bisa dibilang komandan utama kalangan Brexit yang telah berjuang keras menggerakkan kampanye anti-Uni Eropa, terutama di kawasan London Utara, tempat ia menetap.

"Terus terang, jika ini merupakan akhir dari karier politik saya, saya telah menyelesaikan delapan tahun sebagai Wali Kota London, saya sangat menikmatinya, itu merupakan hak istimewa yang besar," ujar dia, awal pekan lalu.

Jajak pendapat Paddy Power menempatkan Johnson sebagai calon terkuat yang akan memimpin partai. Sayangnya, dia membuat sejumlah komentar ‘janggal’ selama kampanye Brexit, yang bisa memupuskan mimpinya menjadi orang nomor satu di ‘Negeri Ratu Elizabeth’.

Pekan lalu, misalnya, seperti dilansir Sky News, Johnson menandatangani surat yang menyatakan Ca­meron harus tetap menjadi perdana menteri, apa pun hasil referendum. Setidaknya itu menunjukkan ia tidak tertarik untuk menjadi PM.

Namun, figur kuat lainnya, seperti Michael Gove, sebelumnya juga telah menyatakan tidak tertarik menjadi pemimpin Inggris. Selain itu, Gove, meski cukup dihormati, oleh sebagian kalangan partai dinilai tidak cukup mampu meraup suara yang memadai di seluruh penjuru negeri. Adapun Theresa May, meski berniat bersaing menduduki posisi Cameron, sikap politiknya yang mendukung UE bisa menempatkan dia di posisi yang kurang menguntungkan.

Sementara itu, pemimpin Partai Kebebasan Anti-Uni Eropa (UE), Nigel Farage, mengatakan Inggris sekarang harus memiliki pemerintahan Brexit setelah memutuskan keluar dari UE. "UE gagal, UE sedang sekarat. Saya berharap kita menjadi batu pertama yang keluar dari din­ding," tambah Farage. Farage juga mengatakan kepada pendukung Brexit di pusat London, kemarin, "Ini akan menjadi kemenangan untuk orang-orang asli, orang-orang biasa, dan orang-orang yang layak." (AFP/AP/I-1)

indah.hoesin@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya