Dunia Butuh Keseimbangan Energi

Bam/I-1
14/6/2016 01:15
Dunia Butuh Keseimbangan Energi
(ROSATOM/SABAM SINAGA)

PENYETARAAN berbagai jenis pembangkit energi tidaklah masuk akal.

Akan selalu ada kompetisi di antara berbagai jenis pembangkit dan negara-negara akan mencari keseimbangan yang optimal.

"Saat ini keseimbangan itu bergeser ke arah mengurangi komponen hidrokarbon, sesuai Konferensi Perubahan Iklim Paris," kata CEO of Rosatom Sergei Y Kirienko pada seminar bertajuk Atomic Power Engineering as the Basis for Carbonless Power Balance, di hari pertama Atomexpo 2016 Moskow, 30 Mei lalu.

Pada 2030, kata Kirienko, seluruh pembangkit listrik tenaga nuklir di Rusia dapat mencegah 711 juta ton emisi CO2.

Jika dihitung semua PLTN dunia yang mereka desain, jumlah emisi yang dapat dicegah mencapai 2,4 miliar ton CO2 per tahun.

Ini setara dengan 80% total emisi akibat polusi asap kendaraan di seluruh dunia setiap tahun.

Di sisi lain, sumber energi terbarukan tidak mampu memecahkan persoalan dasar ketersediaan energi.

Karena itu, keseimbangan yang ideal ialah kombinasi antara energi berbasis nuklir dan energi terbarukan.

Lagi pula, banyak negara yang kondisi wilayahnya tidak memungkinkan untuk mengembangkan energi terbarukan.

Asosiasi Nuklir Dunia (WNA) memang sudah menargetkan 25% listrik dunia pada 2050 dipasok pembangkit nuklir (PLTN).

Untuk itu, dibutuhkan pembangkit baru dengan kapasitas total 1.000 Gw.

Ditargetkan 50 Gw terbangun pada 2016-2020, lalu 125 Gw periode 2021-2025, dan 825 Gw pada 2026-2050.

Direktur Jenderal Asosiasi Nuklir Dunia (WNA) Agneta Rising, dalam pidato pembukaan Atomexpo 2016, mengatakan jumlah PLTN terus bertambah.

Semakin banyak negara yang setuju untuk membangun PLTN dengan berbagai alasan.

"Pada 2015, hampir 10 Gw energi listrik dipasok dari nuklir. Ini lebih dari dua kali lipat kapasitas rata-rata setiap tahun pada dekade sebelumnya. Kita perlu membangun percepatan itu," jelas Rising.

Menurut dia, pembangkit nuklir akan menciptakan keseimbangan pada pasokan energi yang selama ini didominasi sumber-sumber yang lain, seperti gas, batu bara, dan minyak.

Kendati demikian, diingatkan bahwa standar keamanan yang tinggi harus jadi perhatian utama.

Negara pengguna energi nuklir harus mampu mengoptimalkan pemakaiannya dan berupaya mengurangi dampak negatifnya.

Secara ekonomi, pemanfaatan energi nuklir jauh lebih efisien jika dibandingkan dengan energi fosil.

Energi yang dihasilkan satu tablet dioksida uranium (seberat 4,5 gram), misalnya, setara dengan 350 kg minyak bumi, 640 kg kayu, 400 kg batu bara, dan 360 meter kubik gas.

Satu kilogram batu bara hanya memproduksi listrik 7 kwh.

Neutron termal bisa mencapai 620.000 kwh, atau 88.000 kali lebih tinggi daripada pembakaran batu bara.

Belum lagi masalah ketersediaan bahan bakar untuk pembangkit listrik termal selama beberapa tahun ke depan.

Padahal stok sangat penting dalam industri. Tak terbayangkan berapa luas lahan yang disiapkan PLTU untuk menjaga stoknya selama 3-5 tahun.

Kirienko menilai masa depan tenaga nuklir ada pada pengembangan teknologi cepat. Teknologi itu membuat energi nuklir bebas limbah.

"Rusia jauh lebih maju dalam hal ini. Unit BN-800 sudah diluncurkan dan pabrik bahan bakar MOX (mixure of oxides of plutonium and uranium) sudah beroperasi," ujar dia.

Terobosan itu mampu mengoptimalkan potensi bahan baku uranium (U), bukan hanya U-235 dan U-238 seperti yang dilakukan saat ini.

Dengan demikian, ketersediaan energi jangka panjang akan terjamin dan tidak memberikan emisi gas rumah kaca. (Bam/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya