Perahu Rohingya Karam

Haufan Hasyim Salengke
21/4/2016 01:15
Perahu Rohingya Karam
(AFP/STR)

PULUHAN warga etnik Rohingya tewas ketika perahu kayu yang mereka tumpangi terbalik di lepas pantai Myanmar.

Para saksi mata mengatakan tragedi itu disebabkan tindakan diskriminatif aparat pemerintah setempat.

Insiden tewasnya 21 orang Rohingya yang memilukan disebabkan ulah aparat dan pejabat Myanmar.

Mereka tidak mengizinkan masyarakat Rohingya melakukan perjalanan melalui jalur pintas yang aman.

Akhirnya, mereka terpaksa mengarungi lautan dengan perahu kayu.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan setidaknya 21 orang, termasuk sembilan anak, tewas dalam insiden yang terjadi pada Selasa (19/4) itu.

Perahu yang penuh sesak terbalik di perairan berombak saat mendekati ibu kota Negara Bagian Rakhine, Sittwe.

"Kecelakaan ini merupakan pengingat tragis tentang situasi yang dihadapi sebagian besar kelompok rentan itu di Rakhine," kata Janet Jackson, Koordinator Penduduk dan Kemanusian PBB, di Myanmar.

Sejumlah kelompok hak asasi, kemarin, mengonfirmasi insiden itu.

Lembaga nonpemerintah, Arakan Project, mengatakan perahu nahas yang membawa 60 warga Rohingya itu terbalik akibat laut bergelombang di dekat Kota Sittwe.

"Ada laporan yang bertentangan mengenai jumlah persis orang-orang di dalam perahu. Namun, laporan setempat mengatakan setidaknya 15 orang masih dinyatakan hilang," kata Chris Lewa dari Arakan Project.

"Ini (kecelakaan perahu) terjadi karena transportasi tidak aman. Kita tidak bisa menggunakan transportasi langsung (darat) ke Sittwe untuk membeli barang atau obat-obatan," ujar aktivis Rohingya, Kyaw Hla Aung, kepada AFP dari Sittwe.

Larangan perjalanan

Menurut Chris Lewa, para penumpang dan pihak kapal telah memperoleh izin khusus dari pemerintah untuk bepergian dengan perahu ke pasar di Sittwe dari Paukaw.

Para warga itu terpaksa ke Sittwe untuk membeli perlengkapan dan kebutuhan sehari-hari.

Sebelumnya, pihak berwenang di Myanmar telah memberlakukan larangan perjalanan kepada mayoritas penduduk Rohingya setelah konflik sektarian pecah pada 2012.

Akibat kekerasan itu, ribuan etnik Rohingya menderita dan berada dalam tekanan.

Kini, Myanmar telah memiliki pemerintahan sipil pertama mereka setelah puluhan tahun dikendalikan militer.

Pemerintahan partai berkuasa yang dipimpin peraih Hadiah Nobel, Aung San Suu Kyi, menyatakan bakal melakukan perubahan radikal.

Akan tetapi, belum ada indikasi bahwa pemerintah sipil setempat bakal mencabut peraturan yang mendiskriminasi warga etnik Rohingya. (AFP/The Sun Daily/IOL/I-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya