PEMERINTAH Irak, Minggu (24/5), menolak tuduhan Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Ashton Carter bahwa pasukan Irak menghindari pertempuran dan enggan melawan kelompok ekstremis Islamic State (IS) di wilayah Ramadi, Irak. Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi menyatakan tidak percaya dengan tudingan yang dilontarkan Carter. "Saya heran mengapa dia mengatakan itu. Dia sangat mendukung Irak. Saya yakin dia mendapatkan informasi yang salah," ujar al-Abadi.
Ahmed Ali, salah satu pengamat Irak, juga keberat-an dengan komentar Carter. Ia mengatakan pasukan Irak telah melakukan banyak pertempuran selama berbulan-bulan menghadapi IS. "Pernyataan Carter sangat mengejutkan dan cenderung negatif. Hal itu dapat memengaruhi moral pasukan keamanan Irak," ungkap Ali. Carter mengatakan bahwa jatuhnya Ramadi pada 17 Mei lalu sebenarnya bisa dihindari. "Kami memiliki permasalahan dengan kemauan rakyat Irak untuk melawan IS," kata Carter pada Minggu (24/5).
"Apa yang terjadi ialah pasukan Irak tidak menunjukkan keinginan untuk melawan. Mereka tidak kalah jumlah, tetapi gagal melawan," lanjutnya. AS merupakan mitra utama Irak dalam perang untuk merebut kembali wilayah yang dikuasai IS sejak tahun lalu Terebutnya Ramadi, ibu kota provinsi terbesar Anbar, oleh IS, menimbulkan pertanyaan atas strategi yang dianut tidak hanya oleh Irak, tetapi juga oleh AS untuk mengatasi kelompok ekstremis itu. Serangan udara dan pelatih-an pasukan keamanan yang dilakukan berbulan-bulan telah gagal untuk melawan taktik IS yang agresif.
Ubah taktik Al-Abadi menyatakan telah mengubah taktiknya. Ia memanggil kekuatan Hashed al-Shaabi yang merupakan kekuatan militer yang didominasi muslim Syiah dukungan Iran. Ia mengatakan pasukan Hashed al-Shaabi telah di-kerahkan secara massal untuk ambil bagian dalam operasi merebut kembali Ramadi. Selain menyerang dan menguasai beberapa wilayah di Irak, IS juga telah mengendalikan beberapa wilayah di Suriah. Pemerintah Suriah telah meluncurkan setidaknya 15 serangan ke wilayah kota kuno Palmyra dan sekitarnya pada Senin (25/5) sebagai langkah untuk merebut kembali wilayah tersebut dari IS.
"Sejak tadi pagi, pesawat pemerintah telah melakukan setidaknya 15 serangan udara di Palmyra dan daerah sekitarnya, termasuk situs bersejarah peninggalan masa Yunani dan Romawi," kata Direktur Observatorium Rami Abdel Rahman. The Syrian Observatory for Human Rights mengatakan serangan tersebut merupakan yang terbesar sejak kelompok IS mengambil alih Palmyra pada Kamis (21/5) silam.
Berdasarkan laporan, ia mengatakan terdapat bebe-rapa korban, tetapi belum mengetahui perinciannya. Rami menambahkan IS telah mendokumentasikan eksekusi mati yang dilakukan terhadap 217 orang, yang 67 di antara mereka ialah warga sipil. Selain membunuh warga Palmyra, para milisi IS juga menyandera sekitar 600 orang. Media pemerintah Suriah mengatakan sedikitnya 450 warga sipil telah dibunuh oleh IS di Palmyra. Kebanyakan dari mereka ialah wanita, anak-anak, dan orang tua.