Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

PBB Keluarkan Resolusi Kecam Pelanggaran HAM Terhadap Rohingya

Melalusa Susthira K
28/12/2019 11:26
PBB Keluarkan Resolusi Kecam Pelanggaran HAM Terhadap Rohingya
Pengungsi Rohingya(Antara)

MAJELIS Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui resolusi yang mengutuk keras pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap muslim Rohingya Myanmar dan minoritas lainnya, termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan, serta kematian dalam penahanan.

Badan dunia yang beranggotakan 193 negara itu memberikan dukungan 134 suara berbanding 9 suara yang menentangnya, dengan 28 suara menyatakan abstain atas resolusi tersebut pada Jumat (27/12). Resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat secara hukum, namun resolusi tersebut mencerminkan pendapat dunia.

Resolusi tersebut juga menyerukan pemerintah Myanmar untuk mengambil langkah-langkah mendesak guna memerangi hasutan kebencian terhadap Rohingya dan kelompok minoritas lainnya di negara-negara bagian Rakhine, Kachin, dan Shan. Resolusi itu menyerukan penghentian segera pertempuran dan permusuhan di wilayah konflik etnis di negara bagian Myanmar tersebut.

Di samping itu, Majelis Umum PBB mengkhawatirkan temuan misi pencari fakta internasional yang independen, menyangkut pelanggaran berat HAM dan pelanggaran yang diderita oleh muslim Rohingya serta kelompok minoritas lainnya oleh pasukan keamanan Myanmar. Misi itu menyebut apa yang dilakukan militer Myanmar tak diragukan lagi merupakan kejahatan paling berat menurut hukum internasional.

Duta Besar Myanmar untuk PBB, Hau Do Suan, menyebut resolusi itu sebagai contoh klasik standar ganda, serta penerapan norma-norma HAM yang selektif dan diskriminatif. Ia menyebut resolusi itu dirancang untuk memberikan tekanan politik yang tidak diinginkan pada Myanmar.

“Resolusi itu tidak berusaha untuk menemukan solusi untuk situasi kompleks di negara bagian Rakhine dan menolak mengakui upaya pemerintah (Myanmar) untuk mengatasi tantangan di wilayah tersebut,” tutur Hau Do Suan, seperti dilansir Al Jazeera.

“Resolusi itu akan menabur benih ketidakpercayaan dan akan menciptakan polarisasi lebih lanjut dari berbagai komunitas di wilayah tersebut," sambungnya.

Myanmar yang mayoritas beragama Buddha telah lama menganggap Rohingya sebagai kelompok etnis Bengali dari Bangladesh, sekalipun keluarga mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. Hampir semua telah ditolak kewarganegaraannya sejak 1982, membuat mereka terombang-ambing tanpa kewarganegaraan.

Krisis Rohingya pecah pada 25 Agustus 2017, ketika militer Myanmar meluncurkan operasi yang disebut kampanye pembersihan di negara bagian Rakhine, dalam menanggapi serangan oleh kelompok bersenjata Rohingya. Kampanye tersebut menyebabkan eksodus massal Rohingya ke Bangladesh, dan menuduh bahwa pasukan keamanan Myanmar telah melakukan perkosaan dan pembunuhan massal, serta membakar ribuan tempat tinggal Rohingya.

Pemimpin sipil Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi membela militer Myanmar atas tuduhan genosida terhadap muslim Rohingya di Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda pada Rabu (11/12). Ia menyangkal ‘niat genosida’ dalam tindakan keras Myanmar terhadap muslim Rohingya, namun mengakui bahwa militer Myanmar mungkin telah menggunakan kekuatan yang berlebihan. (aljazeera/OL-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya