Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Sanksi AS untuk Panglima Myanmar

Tesa Oktiana Surbakti tesa@mediaindonesia.com
18/7/2019 05:20
 Sanksi AS untuk Panglima Myanmar
Kepala militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing((Photo by YE AUNG THU / AFP))

AMERIKA Serikat menggulirkan sanksi kepada panglima militer Min Aung Hlaing dan para petinggi militer Myanmar lainnya atas keterlibatan mereka dalam operasi penumpasan di luar hukum terhadap kelompok muslim Rohingya. Mereka kini dinyatakan dilarang masuk ke wilayah Amerika Serikat.

Sanksi yang juga menyasar wakil Min Aung Hlaing, yakni Soe Win berikut dua komandan senior lainnya serta keluarga mereka, merupakan tindakan terkeras yang diambil AS. Namun, sanksi itu tidak ditujukan kepada tokoh sipil Aung San Suu Kyi.

"Kami masih khawatir pemerintah Burma (Myanmar) tidak mengambil langkah nyata untuk meminta pertanggungjawaban sejumlah pihak atas pelanggaraan hak asasi manusia dan berbagai laporan terkait militer yang melakukan pelanggaran di seluruh negeri," ujar Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, kemarin.

Baru-baru ini, lanjut Pompeo, terungkap adanya perintah dari Min Aung Hlaing agar tujuh tentara, yang sempat dihukum terkait pembunuhan di luar hukum selama operasi penumpasan etnik Rohingya di Desa Inn Din pada 2017 untuk dibebaskan.

"Operasi itu merupakan salah satu contoh mengerikan dari minimnya penegakan hukum terhadap militer dan jajaran pemimpin senior," imbuh Pompeo.

"Panglima tertinggi membebaskan para penjahat ini setelah hanya beberapa bulan mendekam di penjara. Sementara itu, jurnalis yang mengabarkan kasus pembantaian di Inn Dinn kepada dunia malah dipenjara lebih dari 500 hari," pungkas Pompeo.

Operasi penumpasan di Inn Dinn dilaporkan oleh dua jurnalis Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, yang dipenjara lebih dari 16 bulan dengan tuduhan mencuri rahasia negara. Mereka baru dibebaskan melalui amnesti pada 6 Mei 2019.

Pengumuman dari AS ini mengemuka pada hari pertama konferensi tingkat menteri internasional yang menyoroti kebebasan beragama. Pertemuan itu diselenggarakan Pompeo di Kementerian Luar Negeri AS dan turut dihadiri perwakilan Rohingya.

Tindakan kejam militer pada 2017 di Myanmar menyebabkan lebih dari 730 ribu muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

Tim penyelidik PBB menyatakan operasi militer Myanmar mencakup pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran yang meluas serta eksekusi dengan tujuan genosida.

Belum lama ini, seorang penyelidik PBB juga mengungkapkan pasukan keamanan dan pemberontak Myanmar melakukan pelanggaran HAM terhadap warga sipil, yang diduga merupakan kejahatan perang.

Sementara itu, juru bicara militer Myanmar, Zaw Min Tun, menyatakan sanksi AS itu telah melukai harga diri militer Myanmar. "Tindakan kami harus dihormati. AS tidak mengerti sejarah," ujarnya.

Myanmar, yang didominasi penganut Buddha, selama ini tidak mau memberi status kewarganegaraan dan hak-hak lainnya kepada warga Rohingya.

Kurang berpengaruh

Pengamat politik AS, Erin Murphy, menilai sanksi itu akan lebih terasa memberatkan bagi keluarga para jenderal yang ingin datang ke AS untuk berwisata atau belajar.

Dia juga meragukan larangan perjalanan itu akan mengubah sikap terhadap Rohingya yang banyak dibenci warga Myanmar.

"Ada sikap rasis yang begitu mengakar di Myanmar. Perlu hukuman ataupun cara positif lainnya dalam mengatasi masalah yang begitu kompleks dan rumit ini. Larangan bepergian akan kurang berpengaruh," ujar mantan pejabat Kemlu AS itu. (AFP/Channelnewsasia/Tes/X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya