Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

RI Harus Lebih Proaktif Persoalan Etnik Rohingya

BY/I-1
13/7/2019 06:20
RI Harus Lebih Proaktif Persoalan Etnik Rohingya
Kepala Media Research Center Metro TV Asep Setiawan.(Mi/Anggoro )

PEMERINTAH Indonesia harus lebih menunjukkan sikap tegas dan konsisten dalam menyikapi berbagai persoalan di dunia. Selain untuk mengangkat wibawa bangsa di mata internasional, ketegasan dan konsistensi ini diperlukan seiring dengan masuknya kita sebagai anggota Dewan Keamanan PBB.

Hal ini diungkapkan Asep Setiawan seusai menyampaikan disertasinya­ saat sidang doktor dalam Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat (12/7). Kepala Media Research Center Metro TV ini dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Asep menilai, saat ini Indonesia kurang menunjukkan ketegasan dan sikap proaktif terhadap berbagai persoalan internasional. Sebagai contoh, menurutnya, pemerintah kita harus lebih aktif dalam menuntaskan persoalan etnik Rohingya di Myanmar.

“Kemarin kita menurunkan tim kemanusiaan. Tapi cukup itu saja, lalu hilang,” kata Asep. Sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, menurutnya, Indonesia harus lebih aktif menuntaskan persoalan itu.

Hal serupa pun terjadi pada krisis Timur Tengah karena pemerintah Indonesia dianggap kurang aktif dalam menyelesaikannya. Sebagai negara nonblok dengan penduduk muslim terbesar, RI harus berperan dan menunjukkan sikap tegas atas peristiwa itu.

“Jangan biarkan Timur Tengah jadi kacau. Indonesia belum proaktif sebagai Dewan Keamanan PBB sekarang,” katanya.

Ketidaktegasan ini disebabkan adanya faktor eksternal terutama pengaruh dari negara Barat.

Dalam disertasi berjudul Perubahan Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Isu Nuklir Iran di Dewan Keamanan PBB 2007-2008, menurutnya, ketidaktegasan dan inkosistensi ditunjukkan saat dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat AS pertama kali memberi sanksi Iran, pemerintah mendukungnya di PBB. Namun, setelah sanksi kedua dijatuhkan, pemerintah saat itu lebih memilih abstain karena diduga dipengaruhi faktor internal.

Inkonsistensi ini perlu dihindari untuk menunjukkan sikap kita terhadap perkembangan nuklir ini.  Asep berharap pemerintah memiliki ketegasan akan pentingnya nuklir. “Nuklir sebagai teknologi, setiap negara berhak (mengembangkan). Tetapi nuklir untuk senjata hanya dibolehan untuk Tiongkok, Amerika, Inggris, Prancis, dan Rusia,” katanya.(BY/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya