Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Misi PBB Desak Myanmar Pulangkan Pengungsi Rohingya ke Rakhine State

MICOM
14/10/2017 15:16
Misi PBB Desak Myanmar Pulangkan Pengungsi Rohingya ke Rakhine State
(AFP/YE AUNG THU)

MANTAN Sekjen PBB Kofi Annan mendesak pemerintah Myanmar untuk memastikan bahwa setengah juta pengungsi muslim Rohingya yang telah melarikan diri dalam dua bulan terakhir ke kamp-kamp pengungsian di perbatasan Myanmar - Bangladesh untuk kembali ke kampung halamannya di Rakhine State.

"Pemerintah Myanmar perlu menciptakan kondisi yang memungkinkan para pengungsi untuk kembali dengan harga diri dan rasa aman. Pemerintah Myanmar juga harus membantu mereka membangun kembali Rakhine State yang sebelumnya dilanda kekerasan," kata Annan, yang memimpin Komisi Khusus PBB yang menangani krisis di Myanmar.

"Mereka seharusnya tidak dikembalikan ke kamp. Mereka butuh bantuan untuk mengembalikan rumah mereka." kata Annan berbicara dalam pertemuan khusus tersebut.

Dalam pertemuan khusu pada Jumat (13/10) di Washington DC itu, Misi PBB untuk Myanmar tidak menanggapi apa yang telah disampaikan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi pada Kamis (12/10) bahwa Myanmar telah membentuk sebuah komite untuk mengawasi semua bantuan internasional dan lokal di Rakhine State.

Untuk diketahui, sekitar 1 juta warga Rohingya merupakan kelompok minoritas yang telah lama diperlakukan secara diskriminatif. Mayoritas umat Budha di Myanmar menganggap mereka merupakan migran ilegal dari Bangladesh, walaupun banyak keluarga Rohingya yang sudah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. Dan sejak 1982, pada saat junta militer berkuasa di Myanmar, muslim Rohingya kewarganegaraannya ditiadakan.

Dalam sebuah eksodus yang belum pernah terjadi sebelumnya, lebih dari 500.000 warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke negara tetangga Bangladesh sejak 25 Agustus.
Hal itu terjadi ketika pasukan keamanan mengejar dan menangkapi warga Rohingya hingga membunuh mereka dan membakar rumah-rumah di Rakhine. Militer Myanmar beralasan hal itu dilakukan untuk mencari kelompok militan Rohingya yang menyerang pos polisi.

Terhadap aksi brutal pemerintah Myanmar tersebut, PBB dan sebagian besar negara di dunia menyebut peristiwa itu sebagai 'pembersihan etnis; atau genosida. Namun pemerintah Myanmar menolaknya.

Untuk diketahui, serangan brutal oleh militer Myanmar pada Agustus juga terjadi sehari setelah komisi yang dipimpin Annan mengeluarkan laporannya, yang meminta pembangunan ekonomi dan keadilan sosial untuk melawan kekerasan dan pembunuhan tersebut.

Dewan Keamanan PBB juga telah berulang kali membahas Myanmar. Namun pandangan berbeda terjadi di antara anggota yang memiliki hak veto. Pada sebuah pertemuan akhir bulan lalu, Inggris, Prancis dan A.S. menuntut diakhirinya apa yang mereka sebut pembersihan etnis.

Namun China meminta kesabaran. Utusan Rusia juga memperingatkan bahwa "tekanan berlebihan" hanya bisa memperburuk masalah.

Pertemuan hari Jumat (13/10), menurut Annan sangat berguna dan bermanfaat untuk membangun konsensus pada dua tujuan, yakni "Mendukung rekomendasi dari komisi Annan dan mencela "status quo yang sama sekali tidak dapat diterima," kata Duta Besar Prancis Francois Delattre.

Delattre yang memimpin sidang dengan utusan Inggris Matthew Rycroft. Saat ditanya wartawan apakah sanksi atau resolusi lain bisa terjadi, Rycroft mengatakan bahwa dia berharap untuk terus bekerja dengan semangat membawa semua orang bersama-sama.

Adapun utusan China dan Rusia ditanya hal yang sama tidak bersedia berkomentar.(AP/OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya