Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
KETIKA Hadi Bakkour melarikan diri dari perang sipil Suriah, dia kehilangan hampir segalanya kecuali satu hadiah berharga yang memberinya kehidupan baru di sisi lain dunia; bahasa yang sehari-hari ia tuturkan.
Pria berusia 22 tahun itu melarikan diri dari Aleppo pada 2014 karena khawatir dia akan dipaksa bekerja untuk tentara Presiden Bashar al-Assad yang berjuang untuk menguasai kota itu. Dia juga terpaksa meninggalkan keluarga dan bangku kuliah.
Tapi tiga tahun kemudian di Rio de Janeiro, Brasil, Bakkour adalah satu dari dua lusin guru yang dipekerjakan sekolah bahasa di ‘Negeri Samba’ itu.
Di sekolah tersebut, semua instrukturnya merupakan pengungsi atau mantan pengungsi yang melarikan diri ke Brasil.
Menulis ‘Selamat malam’ dalam aksara Arab di papan tulis, Bakkour memulai sebuah kelas dengan bahasa Portugis yang sempurna. Pengungsi Suriah lainnya juga mengajar bahasa Arab di kelas terdekat.
Di kelas yang lain, seorang pria Kongo sedang mengajar bahasa Prancis dan seorang buron dari kekacauan di Venezuela menyampaikan pelajaran bahasa Spanyol.
Proyek ‘Cultural Hug’, yang memiliki 13 guru di Rio dan 14 di Sao Paulo, memberikan warga Brasil kesempatan untuk belajar bahasa dari penutur asli yang sangat termotivasi.
Program tersebut juga menawarkan guru yang tidak biasa ini--segelintir dari 9.000 pengungsi resmi di Brasil--sebuah kesempatan.
“Ini ide bagus karena mereka telah menciptakan cara untuk membantu pengungsi mendapatkan pertolongan tanpa harus bertanya,” kata Bakkour.
“Anda mendapatkan uang untuk membayar biaya sewa dan membeli keperluan Anda dan pada saat bersamaan Anda menjalin pertemanan, Anda mendapatkan cinta dan persahabatan dari orang-orang,” ujarnya.
“Ini benar-benar pelukan yang sesungguhnya, seperti sebuah keluarga,” tambahnya dengan suara penuh emosi.
Pengungsi lain yang menjadi guru ialah Chantrel Koko, asal Republik Demokratik Kongo yang dilanda perang pada 2012.
Koko merupakan salah satu profesor bahasa pertama Cultural Hug. Dia berharap bisa lulus dari sekolah kedokteran pada tahun depan.
“Datang ke sini tidak mudah,” kenang dia. “Saya harus mengumpulkan banyak uang dan berada dalam proyek ini tidak hanya membantu saya secara ekonomi, tapi membuat saya merasa betah saat berada di dalam kelas.”
Pendiri Cultural Hug, Carolina de Oliveira Vieira, mengatakan para guru itu mendapatkan banyak pelajaran berharga dari program tersebut dan budaya yang mereka bawa memperkaya proses belajar-mengajar.
“Ketika mereka tiba, mereka tidak dapat berintegrasi karena mereka sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Portugis,” kata dia.
“Meskipun mungkin tidak memiliki pengalaman dalam pengajaran bahasa mereka sendiri, para pengungsi membawa kekayaan budaya mereka.” pungkas Vieira. (AFP/Haufan Hasyim Salengke/I-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved