Merkel Serukan Dialog Turki

Haufan Hasyim Salengke
18/4/2017 10:23
Merkel Serukan Dialog Turki
(Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan didampingi istrinya, Emine Erdogan, melambaikan tangan dengan latar belakang pendukungnya setelah hasil referendum tidak resmi diumumkan, di Istanbul, Turki, Minggu (16/4). -- AP Photo/Yasin Bulbul)

KANSELIR Jerman Angela Merkel, kemarin, mendesak Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk membangun ‘dialog penuh hormat’ di dalam negeri setelah suara mendukung amendemen konstitusi menang tipis dalam referendum yang digelar pada Minggu (16/4).

“Pemerintah (Jerman) berharap pemerintah Turki mengadakan dialog penuh hormat dengan semua kekuatan politik dan sosial di negara itu setelah kampanye pemi-lu yang keras,” tutur Merkel dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan bersama dengan Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel.

Merkel mengatakan negaranya menghormati hak masyarakat Turki dalam memutuskan konstitusi mereka. Namun, dia menambahkan bahwa hasil yang ketat atau kemenangan yang tipis menunjukkan masyarakat Turki terpecah dalam dua kubu.

Selama kampanye referendum, Erdogan mengecam Jerman dan Belanda. Dia menuduh pemerintah dari kedua negara itu telah bertindak seperti Nazi ketika mereka melarang unjuk rasa untuk kubu ‘Ya’.

Selama kampanye untuk mengubah 18 pasal yang diusulkan dalam konstitusi, Erdogan sempat melancarkan serangan secara verbal yang keras terhadap negara anggota Uni Eropa (UE).

Dia menuduh negara-negara tersebut berperilaku seperti Third Reich karena melarang para menterinya untuk berkampanye di kalangan ekspatriat.

Para pejabat utama UE pun bereaksi keras. Mereka mengatakan upaya Turki untuk bergabung dengan blok ekonomi termapan di dunia itu bakal semakin terjal dan tipis. Terlebih lagi Ankara berencana menghidupkan kembali hukuman mati yang ditentang keras oleh UE.

Sistem presidensial
Dengan kemenangan suara kubu ‘Ya’ dalam referendum, Turki akan mengganti sistem parlementer menjadi presidensial. Kantor perdana menteri akan dihapus dan memusatkan seluruh birokrasi eksekutif di bawah presiden. Dengan begitu, Erdogan memiliki kewenangan langsung untuk menunjuk menteri.

Sebelumnya Erdogan menjabat perdana menteri tiga periode. Selanjutnya, dia terpilih menjadi presiden yang dilantik pada 24 Agustus 2014. Dengan amendemen konstitusi, dia akan menjadi presiden dua periode lagi hingga 2029.

Di sisi lain, Erdogan menyatakan bahwa Turki butuh konstitusi yang kuat untuk bisa meraih dan menjaga stabilitas politik. Dia mengatakan hanya presiden yang kuat yang dapat menggembleng negara.
Menurut The Economist, tidak ada yang salah dengan sistem presidensial yang kuat. Namun, konstitusi baru Turki akan berjalan terlalu jauh dan dikhawatirkan memunculkan kediktatoran.

Konstitusi baru, menurut ulasan opini The Economist, akan mewujudkan demokrasi terikat atau demokrasi semu nasionalis seperti yang dilakukan Perdana Menteri Viktor Orban di Hongaria dan Presiden Vladimir Putin di Rusia.

Selain itu, referendum konstitusi Turki juga ditentang karena figur Erdogan. Sejak kudeta yang gagal, dia telah memerintah di bawah status darurat yang menunjukkan betapa kejamnya kekuasaan dapat disalahgunakan.

Negara memang berhak melindungi warganya, terutama dalam menghadapi kekerasan politik. Akan tetapi, Erdogan telah jauh melampaui batas kewajaran.

Setelah kudeta gagal yang dituduh didalangi Fethullah Gulen pada Juli tahun lalu, sekitar 50 ribu orang telah ditangkap dan 100 ribu lebih pegawai pemerintah dipecat. (AFP/The Economist/Hym/I-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya