UE Khawatir Muncul Diktatorship di Turki Pascareferendum

Haufan Hasyim Salengke
17/4/2017 20:22
UE Khawatir Muncul Diktatorship di Turki Pascareferendum
(AFP PHOTO / TURKISH PPRESIDENTIAL PRESS OFFICE)

SELAMA berkampanye untuk mengubah 18 pasal yang diusulkan dalam konstitusi, Preiden Turki Recep Tayyip Erdogan melancarkan serangan verbal keras di lingkup Uni Eropa (UE), menuduh negara-negara anggota berperilaku seperti Third Reich karena melarang para menterinya untuk berkampanye di kalangan ekspatriat.

Para pejabat utama UE pun bereaksi keras dengan mengatakan upaya Turki untuk bergabung dengan blok ekonomi termapan di dunia itu bakal semakin terjal. Apa lagi Ankara berencana menghidupkan kembali hukuman mati, sesuatu yang ditentang keras oleh UE.

Di saat perseteruaan antara Brussels dan Ankara intens, Erdogan mengatakan ia sedang mengupayakan rencana tentang mengembalikan hukuman mati, sebuah langkah yang secara otomatis mengakhiri permohonan Turki bergabung dengan UE.

Jika oposisi tidak memberikan persetujuan, tegas Erdogan, ia akan mengupayakan referendum lain untuk mengembalikan hukuman mati.

Dengan beralihnya Turki dari sistem parlementer ke presidensial menyusul kemenangan kubu 'Yes' dalam referendum, kantor perdana menteri akan dihapus dan memusatkan seluruh birokrasi eksekutif di bawah presiden, memberikan Erdogan kekuatan langsung untuk menunjuk menteri.

Itu juga berarti Erdogan, yang menjadi presiden pada 2014, bisa berkuasa dua periode lima tahun lagi atau sampai 2029.

Erdogan menyatakan Turki butuh konstitusi yang kuat agar bisa meraih dan menjaga stabilitas politik. Dia mengatakan hanya presiden yang kuat dapat memajukan negara.

Menurut The Economnist, tidak ada yang salah dengan presidensil yang kuat, tetapi konstitusi baru Turki pergi terlalu jauh dan dikhawatirkan memunculkan kediktatoran. Konstitusi baru mewujudkan demokrasi iliberal atau ‘demokrasi semu’ nasionalis seperti Viktor Orban di Hungaria dan Vladimir Putin di Rusia.

Selain itu, referendum konstitusi di Turki juga ditentang karena figur Erdogan. Sejak kudeta yang gagal, dia telah memerintah di bawah status darurat yang menunjukkan betapa kejamnya kekuasaan dapat disalahgunakan.

Negara berhak melindungi warganya, terutama dalam menghadapi kekerasan politik. Tapi Erdogan telah jauh melampaui apa yang wajar. Kira-kira 50.000 orang telah ditangkap; 100.000 lebih telah dipecat.
Kemenangan tipis kubu "Yes" di referendum kemarin malam disambut sinis oleh Kanselir Jerman Angela Merkel. Dia pun mendesak Erdogan untuk membangun ‘dialog penuh hormat’ di dalam negeri setelah kemenangan tipis yang memperpanjang kekuasaannya.

"Pemerintah (Jerman) berharap pemerintah Turki mengadakan dialog penuh hormat dengan semua kekuatan politik dan sosial di negara itu, setelah kampanye pemilu yang keras," kata Merkel dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan bersama dengan Menteri Luar Negeri Sigmar Gabriel.

Merkel mengatakan Jerman menghormati hak Turki dalam memutuskan konstitusi mereka. Tapi ia menambahkan bahwa hasil yang ketat atau kemenangan yang tipis menunjukkan sejauh mana masyarakat Turki terbelah.

Selama kampanye referendum, Erdogan mengecam Jerman dan Belanda, menuduh mereka bertindak seperti Nazi ketika mereka melarang aksi unjuk rasa untuk kubu 'Yes'.(OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya