Energi Terbarukan dari Sisa Pangan

25/3/2017 14:05
Energi Terbarukan dari Sisa Pangan
(MI/LILIEK DHARMAWAN)

HARI ini gerakan global Earth Hour mencapai usia 11 tahun. Gerakan yang dimulai di Sydney, Australia, oleh WWF International itu telah berhasil menggandeng lebih dari 7.000 kota di dunia.

Banyak orang telah menyadari kebutuhan penghematan energi.

Meski begitu, permasalahan krisis energi tetap membayangi.

Kondisi ini menunjukkan dunia harus lebih keras dalam mengupayakan sumber-sumber energi terbarukan.

Di Indonesia, salah satu upaya itu terlihat di Kelurahan Mersi, Kecamatan Purwokerto Timur, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng).

Di sana terdapat Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Adipati Mersi yang memproduksi energi terbarukan dari sisa pangan.

Sisa semangka, jeruk, pisang, hingga bayam, daun singkong, kubis, dan sawi ditampung di instalasi biomethagreen.

Sesuai dengan namanya, instalasi itu berfungsi untuk mengumpulkan gas metana yang dihasilkan pada proses pembusukan bahan organik.

Pemrosesan sisa pangan yang didatangkan dari Pasar Wage Purwokerto itu diubah dengan menggunakan bakteri anaerob.

Hasilnya, biogas yang dialirkan ke sejumlah rumah milik penduduk.

"Hingga saat sekarang, pemrosesan sisa-sisa sayuran dan buah-buahan masih terus berlangsung. Setiap pekan, setidaknya tiga kali pasokan sisa pangan dari Pasar Wage dilakukan. Dengan mengolah sampah organik menjadi biogas, saya jadi berhemat gas," ungkap Satam, warga kampung kepada Media Indonesia, bulan lalu.

Sejak ada bantuan instalasi biomethagreen dari Pemkab Banyumas pada 2012, dirinya tidak lagi membeli elpiji 3 kilogram (kg).

"Kalau sekarang tidak lagi dan bisa menghemat Rp38 ribu atau tidak beli dua tabung gas 3 kg," kata pria berusia 50 tahun itu.

Ketua KSM Adipati Mersi, Satiman, menjelaskan setelah dua tahun beroperasi, pada 2014, KSM Adipati Mersi bekerja sama dengan Pasar Wage.

Dalam kerja sama itu, disepakati, sampah organik atau sisa pangan dari pasar terbesar di Purwokerto disetor ke KSM Adipati Mersi.

Setiap kali pasokan, jumlah sampah mencapai 75-100 kg.

Volume sampah ini baru cukup menghasilkan gas untuk 4-5 rumah.

Untuk memberikan gas kepada 30-40 rumah, dibutuhkan sampah organik 300 kg/ hari.

"Kami masih dalam proses ke sana untuk menjalin kerja sama dengan pasar lainnya. Bahkan, nantinya tidak hanya biogas, tetapi listrik juga dapat dihasilkan melalui genset," jelas Satiman.

Penataan Lingkungan

Tidak hanya memanfaatkan gas metana, KSM Adipati Mersi juga memanfaatkan limbah cair dari sampah sebagai pupuk.

Produksinya mencapai 240 liter setiap bulan.

Limbah itu dijual ke masyarakat dengan harga Rp7.000 per liter dan Rp15 ribu/liter untuk dinas dan instansi pemerintah.

Sebagian pupuk organik hasil fermentasi tersebut juga dipakai untuk bahan awal (starter) pembuatan kompos.

Satiman menjelaskan berbagai aktivitas pengolahan sampah tersebut sebetulnya diawali dengan niat penataan lingkungan permukiman berbasis masyarakat.

Program itu dimulai dengan mengumpulkan sampah dan mengolahnya.

"Jadi ide dasar awal sebenarnya penataan lingkungan yang bersih. Dari program itu, dimunculkan kelompok untuk menangani sampah. Sejak dari rumah, warga diedukasi untuk memilah sampah, baik sampah organik maupun anorganik, seperti plastik, kertas, dan kaca," katanya.

Ia mengungkapkan pengelola dikucuri dana yang tidak sedikit, mencapai Rp1 miliar.

Dana tersebut bisa digunakan untuk membangun tempat penampungan sampah, ruangan pemilihan sampah, tempat pertemuan, pengadaan kendaraan, serta kegiatan nonfisik.

"Alhamdulillah sampai sekarang kegiatan ini masih berjalan. Bahkan, masyarakat sudah terbiasa melakukan pemilihan sampah. Meski pada awalnya kami harus berkeliling ke 7 RW dan 37 RT, akhirnya ibu-ibu PKK juga turun tangan dengan membuat gerakan sedekah sampah," ujarnya.

Gerakan sedekah sampah itu, kata Satiman, ialah pengumpulan sampah oleh ibu-ibu dan hasil penjualan sampah tersebut digunakan untuk kegiatan sosial.

Sampah kemudian dibeli KSM Adipati Mersi.

"Kami membeli dengan harga sesuai kemampuan kami. Untuk gelas plastik sisa air mineral harganya Rp2.500 per kg, kemudian kardus Rp1.000 per kg, dan kertas Rp500 per kg," kata Satiman.

Menurutnya, sampah-sampah tersebut tidak hanya dikumpulkan dan dijual kepada pelaku usaha barang bekas, tetapi juga dimanfaatkan untuk kerajinan.

"Dari sisa-sisa sampah plastik terutama, ibu-ibu PKK mampu membuat tas, keranjang, dompet dan lainnya. Harganya belum dipatok secara pasti. Namun, saat pameran, untuk tas misalnya dijual dengan harga Rp50 ribu hingga Rp75 ribu. Meski masih terbatas, setidaknya seluruh sampah bisa dimanfaatkan," tandasnya.

Mersi merupakan kelurahan yang berhasil mengelola sampah, bahkan mampu memproduksi biogas dari sisa pangan.

Seandainya saja setiap kelurahan atau desa mengikuti jejak Mersi, tentu saja akan sangat berdampak besar pada pengurangan produksi sampah. (LD/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya