Menolak Lupa Kisah Pahit Jugun Ianfu

AFP/Haufan Hasyim Salengke/I-4
09/3/2017 07:21
Menolak Lupa Kisah Pahit Jugun Ianfu
(AFP/Johannes EISELE)

DENGAN kerangka jendela bercat merah dan bagian depan tampak berjelaga, gedung dua lantai yang kosong di Jalan Gongping itu tampak seperti kebanyakan bangunan era pra-Perang Dunia II di Shanghai.

Namun, siapa sangka rumah itu menyimpan berbagai kenangan kelam era penjajahan Jepang.

Bangunan tak terurus itu ialah satu dari 150 situs di metropolitan Tiongkok yang pada masanya digunakan sebagai 'pangkalan penghibur' atau rumah bordil.

Ia bagian dari sistem besar perbudakan seksual yang dijalankan Jepang bagi personel militernya sebelum dan selama Perang Dunia II.

Para sejarawan sepakat sekitar 200 ribu jugun ianfu atau 'perempuan penghibur', sebagian besar dari Korea, juga dari negara-negara Asia lainnya termasuk Tiongkok dan Indonesia, dipaksa bekerja di rumah bordil militer Jepang selama Perang Dunia II.

Kini sekitar 30 tempat serupa diyakini tersisa di kota itu.

Namun, puluhan saksi bisu sejarah itu menghilang di tengah pembangunan kota yang pesat dan keragu-raguan Tiongkok untuk mengabadikan cuplikan episode menyakitkan dari sejarah itu.

Seruan untuk melestarikan situs tersebut demi mengingat penderitaan perempuan-perempuan yang menjadi korban, diberangus oleh sikap Tiongkok yang enggan mengangkat salah satu isu paling sensitif dalam hubungan Sino-Jepang yang penuh drama itu.

"Semua peninggalan sejarah ini secara perlahan sedang dibongkar. Ada sedikit dan semakin sedikit yang masih tersisa," kata Bao Xiaqin, pakar hubungan Tiongkok Jepang di Universitas Fudan.

Secercah harapan tebersit ketika situs Jalan Gongping batal diruntuhkan karena diselamatkan Su Zhiliang, sejarawan Shanghai Normal University, tahun lalu.

Dia menyoroti kisah penderitaan perempuan penghibur masa lalu yang akhirnya menyedot perhatian media massa di Tiongkok.

Kini Su menggalang dana untuk para korban perbudakan seks, yang diperkirakan hanya tersisa 17 orang di Tiongkok, tapi tidak bermukim di Shanghai.

Banyak dari jugun ianfu yang distigmatisasi dan diasingkan setelah perang.

Mereka juga tidak menerima bantuan khusus dari pemerintah.

"Pemerintah benar-benar tidak mengambil tindakan yang cukup. Ini ialah masalah hak asasi manusia di masa perang, tetapi demi menjaga hubungan baik dengan Jepang pemerintah tidak memberikan banyak dukungan terkait masalah ini," ujar Su.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya